Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com

BAB II
sejarah perkembangan peradilan agama islam di indonesia

A.    Perkembangan Peradilan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam.

Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 nomor 129 dan staatsblad tahun 1855 nomor 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.

Pasal 78 RR berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.

Beberapa macam peradilan menurut Supomo pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah tatanan peradilan.
1.    Peradilan Gubernemen, tersebar diseluruh daerah Hindia Belanda.
2.    Peradilan Pribumi tersebar diluar jawa dan madura, yaitu di karasidenan Aceh, tapanuli, sumatera barat, jambi, palembang, bengkulu, riau, kalimantan barat, kalimantan selatan dan timur, manado, Sulawesi, maluku dan di pulau lombok dari keresidenan bali dan lombok.
3.    Peradilan Swapraja, tersebar hampir diseluruh daerah Swapraja, kecuali di Pakualaman dan Pontianak.
4.    Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat kedudukan peradilan Gubernemen, di derah-daerah dan menjadi bagian dari bagian Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
5.    Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan peradilan Gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi Atau Peradilan Swapraja.

Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencampuri organisasi pengadilan agama, tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan raja Belanda yang dimuat dalam staatblad tahun 1882 nomor 152. Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan yang cukup penting, yaitu :

1.    Reorganisasi ini pada dasarnya membentuk Pengadilan Agama yang baru disamping Landraad dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas daerah kabupaten.
2.    Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaan. Menurut Noto Susanto perkara-perkara itu umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.

Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama berdasarkan Staatsblad tahun 1882 nomor 152 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa-Madura. Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu menurut penulis Belanda Van De Berg  mengemukakan sebuah teori yang disebut teori receptio in complexu yang artinya bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Akan tetapi Teori Receptio In Complexu itu akhirnya dikritik tajam oleh Snouck Horgronje karena teori Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Snouck mengemukakan teori Receptio, yaitu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.

Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 11 Agustus 1882 kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (Konnink Besluit) yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 nomor 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 nomor 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan agama.

Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 nomor 153, sehingga dengan demikian dapat dikatakan tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.

Staatblad 1882 nomor 152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
    Pasal 1 : Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura diadakan satu pengadilan agama, yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
    Pasal 2 : Pengadilan agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen.
    Pasal 3 : Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
    Pasal 4 : Putusan pengadilan agama dituliskan dengan disertai dengan alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
    Pasal 5 : Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.
    Pasal 6 : Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.
    Pasal 7 : Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat dinyatakan berlaku.

Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Kepulauan Nusantara ini. Menurut Soebardi (1978) terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan indonesia.

B.    Kekuasaan Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda 

Pemerintah Belanda secara tegas membentuk Peradilan Agama berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama Di Jawa dan Madura. Kekuasaan dan wewenamg Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah muamalah yang bersifat pribadi semisal nikah, cerai, rujuk, dan lain-lain.

Namun, kekuasaan dan wewenang itu semakin berkurang ketika muncul teori Receptio yang melatarbelakangi perubahan pasal 78 RR Staatsblad tahun 1855 nomor 2. Pasal tersebut diubah dengan Staatsblad tahun 1904 nomor 304, Staatsblad tahun 1907 nomor 204, Staatsblad tahun 1919 nomor 286, Staatsblad tahun 1925 nomor 447 pasal 131 IS, dan diubah lagi dengan Staatsblad tahun 1929 nomor 221 pasal 134 ayat (2) IS. Bahkan kemudian diperbarui lagi dengan Staatsblad tahun 1937 nomor 116 dan 610.

Kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura meliputi :
1.    Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2.    Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim agama Islam.
3.    Memberi keputusan perceraian.
4.    Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang di gantungkan (ta’lik talak) sudah ada.
5.    Perkara mahar.
6.    Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami.

Sedangkan di luar Jawa dan Madura Peradilan Agama dibentuk pemerintah kolonial Belanda berdasarkan Staatsblad tahun 1937 nomor 638 dan 639. Kewenangan dan kekuasaan Peradilan Agama di luar jawa meliputi kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, bahkan lebih luas lagi karena Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura juga meliputi perkara warisan.
C. Perkembangan Teori Keberlakuan Hukum Islam dan Peradilan Agama Islam pada masa Penjajahan Belanda
1.    Teori Receptio in complexu
Teori Receptio in complexu yaitu teori yang menitik beratkan pada dasar pengikut suatu agama, maksudnya bahwa bagi orang Islam berlaku juga hukum Islam karena orang itu telah memeluk agama Islam. Teori ini di cetuskan oleh Van den Berg.

Berdasarkan teori itu maka pengadilan belanda pada pada saat itu tidaklah akan mampu menerapkan undang-undang agama bagi bumi putera. Oleh karena itu, dibentuklah Pengadilan Agama (Islam) melalui Staatsblad tahun 1882 nomor 152 dengan nama yang salah, yaitu Priesterraad atau pengadilan pendeta. Priesterraad ini dibentuk di setiap wilayah Landraad atau pengadilan negeri.

Sebelum dikeluarkanya Staatsblad tahun 1882 nomor 152 itu, Belanda telah mencoba melakukan pengawasan terhadap jalanya hukum Islam, meski di sisi lain sesungguhnya pembentukan Pengadilan Agama oleh belanda tersebut justru merupakan pengakuan sejarah terhadap eksistensi hukum Islam.
2.    Teori Receptie
Teori Receptie yaitu hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam . Teori ini dicetuskan oleh Cristian Snouk Hurgronje (1857-1936), seorang  penasihat Pemerintah Hindia Belanda urusan islam dan Bumiputera, menentang teori Receptio in Complexu yang di temukan oleh van den Berg. Berdasarkan penyelidikannya terhadap orang-orang Aceh dan Gayo di Banda Aceh sebagai temuan dalam bukunya De Achehnese, yang kini sudah di terjemahkan oleh Sullivan ke dalam bahasa ingris dengan judul  The Achehnese, yang kini sudah di terjemahkan pula ke dalam bahasa indonesia dengan nama aceh di masa kolonial, dalam hukum adat itu memang telah masuk pengaruh hukum islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar-benar di terima oleh hukum adat.

Pendapat ini kemudian terkenal dengan reseptie theeorie yang mempunyai banyak pengikut di kalangan para sarjana hukum, lebih-lebih setelah teori itu di kembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Corelis van Vollenhoven dan Betranb ter Haar serta dilaksanakan dalam praktek oleh muri-murid dan pengikut-pengikutnya.

Teori resepsi yang mula-mula di cetuskan oleh Cristian Snouk Hurgronje itu mendapat tantangan dari pemikir hukum islam di indonesia. Menurut mereka, teori yang di kemukakan oleh Snouck Hurgronje itu mempunyi maksud-maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa indonesia terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial yang di jiwai oleh hukum islam.

Teori receptio bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda. Selain itu juga bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Oleh karena itu, Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis karena menurutnya teori ini tidak sejalan dengan iman orang islam. Mengikuti teori itu berarti orang Islam diajak untuk tidak mematuhi Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya.

Keberhasilan teori ini mulai tampak pengaruhnya di Indonesia ketika Belanda membuat pasal 134 ayat (2) IS di tahun 1937. Kemudian ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Staatblad tahun 1937 nomor 116 yang isinya membatasi kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya sebatas perkara perkawinan saja. Sedangkan perkara waris yang sudah menjadi kewenanganya diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
BAB III
Kesimpulan

Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 nomor 129 dan staatsblad tahun 1855 nomor 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.

Pemerintah Belanda secara tegas membentuk Peradilan Agama berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama Di Jawa dan Madura. Kekuasaan dan wewenamg Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah muamalah yang bersifat pribadi semisal nikah, cerai, rujuk, dan lain-lain. Namun, kekuasaan dan wewenang itu semakin berkurang ketika muncul teori Receptio yang melatarbelakangi perubahan pasal 78 RR Staatsblad tahun 1855 nomor 2.


DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda