Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



https://videobloggeryoutube.blogspot.com/

Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

 


Keutamaan, Manfaat, Rahasia Sholat Dhuha : Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Pada pagi hari setiap tulang (persendian) dari kalian akan dihitung sebagai sedekah. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang dari berbuat munkar (nahi munkar) adalah sedekah. Semua itu cukup dengan dua rakaat yang dilaksanakan di waktu Dhuha.”
[HR. Muslim, Abu Dawud dan riwayat Bukhari dari Abu Hurairah]

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara: 

[1] puasa tiga hari setiap bulan, 

[2] dua rakaat shalat Dhuha dan 

[3] melaksanakan shalat witir sebelum tidur.”
[HR. Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Ad-Darami]

Dari Abud Darda, ia berkata: “Kekasihku telah berwasiat kepadaku tiga hal. Hendaklah saya tidak pernah meninggalkan ketiga hal itu selama saya masih hidup: 

[1] menunaikan puasa selama tiga hari pada setiap bulan, 

[2] mengerjakan shalat Dhuha, dan 

[3] tidak tidur sebelum menunaikanshalatWitir.”
[HR. Muslim, Abu Dawud, Turmuzi dan Nasa’i]

Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

Dari Abu Said [Al-Khudry], ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhuha, sehingga kami mengira bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Dan jika beliau meninggalkannya,kami mengiraseakan-akan beliau tidak pernah mengerjakannya”.
[HR. Turmuzi, hadis hasan]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat Dhuha itu dapat mendatangkan rejeki dan menolak kefakiran. Dan tidak ada yang akan memelihara shalat Dhuha melainkan orang-orang yang bertaubat.”
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

Anjuran Shalat Dhuha

Dari Aisyah, ia berkata: “Saya tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Dhuha, sedangkan saya sendiri mengerjakannya. Sesungguhnya Rasulullah SAW pasti akan meninggalkan sebuah perbuatan meskipun beliau menyukai untuk mengerjakannya. Beliau berbuat seperti itu karena khawatir jikalau orang-orang ikut mengerjakan amalan itu sehingga mereka menganggapnya sebagai ibadah yang hukumnya wajib (fardhu).”
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Malik dan Ad-Darami]

DalamSyarahAn-Nawawidisebutkan:
Aisyah berkata seperti itu karena dia tidak setiap saat bersama Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah memiliki istri sebanyak 9 (sembilan) orang. Jadi Aisyah harus menunggu selama 8 hari sebelum gilirannya tiba. Dalam masa 8 hari itu, tidak selamanya Aisyah mengetahui apa-apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri beliau yang lain.

Waktu Afdol untuk Shalat Dhuha

Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatnya orang-orang yang kembali kepada ALLAH adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari”.
[HR. Muslim]

Penjelasan:
Anak-anak onta sudah bangun karena panas matahari itu diqiyaskan dengan pagi hari jam 08:00, adapun sebelum jam itu dianggap belum ada matahari yang sinarnya dapat membangunkan anak onta.

Jadi dari rincian penjelasan diatas dapat disimpulkan waktu yg paling afdol untuk melaksanakan dhuha adalah Antara jam 08:00 ~ 11:00

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha

4 RAKAAT
Dari Mu’dzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah: “Berapa jumlah rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menunaikan shalat Dhuha?”
Aisyah menjawab:“Empat rakaat dan beliau menambah bilangan rakaatnya sebanyak yang beliausuka.”
[HR. Muslim dan Ibnu Majah]

12 RAKAAT
Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]

8 RAKAAT
Dari Ummu Hani binti Abu Thalib, ia berkata: “Saya berjunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Fathu (Penaklukan) Makkah. Saya menemukan beliau sedang mandi dengan ditutupi sehelai busana oleh Fathimah putri beliau”.
Ummu Hani berkata:“Maka kemudian aku mengucapkan salam”. Rasulullah pun bersabda: “Siapakah itu?” Saya menjawab: “Ummu Hani binti Abu Thalib”. Rasulullah SAW bersabda: “Selamat datang wahai Ummu Hani”.
Sesudah mandi beliau menunaikan shalat sebanyak 8 (delapan) rakaat dengan berselimut satu potong baju. Sesudah shalat saya (Ummu Hani) berkata:“Wahai Rasulullah, putra ibu Ali bin Abi Thalib menyangka bahwa dia boleh membunuh seorang laki-laki yang telah aku lindungi, yakni fulan Ibnu Hubairah”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “sesungguhnya kami juga melindungi orang yang kamu lindungi,wahai Ummu Hani”.
UmmuHanijugaberkata:“Hal itu (Rasulullah shalat) terjadi pada waktu Dhuha.”
[HR. Muslim]

Tata Cara Shalat Dhuha

  1. Berniat untuk melaksanakan shalat sunat Dhuha setiap 2 rakaat 1 salam. Seperti biasa bahwa niat itu tidak harus dilafazkan, karena niat sudah dianggap cukup meski hanya di dalam hati.
  2. Membaca surah Al-Fatihah
  3. Membaca surah Asy-Syamsu (QS:91) pada rakaat pertama, atau cukup dengan membaca Qulya (QS:109) jika tidak hafal surah Asy-Syamsu itu.
  4. Membaca surah Adh-Dhuha (QS:93) pada rakaat kedua, atau cukup dengan membaca Qulhu (QS:112) jika tidak hafal surah Adh-Dhuha.
  5. Rukuk, iktidal, sujud, duduk dua sujud, tasyahud dan salam adalah sama sebagaimana tata cara pelaksanaan shalat fardhu.
  6. Menutup shalat Dhuha dengan berdoa. Inipun bukan sesuatu yang wajib, hanya saja berdoa adalah kebiasaan yang sangat baik dan dianjurkan sebagai tanda penghambaan kita kepada ALLAH.

catatan :
Sebagaimana shalat sunat lainnya, Dhuha dikerjakan dengan 2 rakaat 2 rakaat, artinya pada setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan 1 kali salam.

Adapun surah-surah yang dibaca itu tidak ada hadis yang mengaturnya melainkan sekedar ijtihad belaka, kecuali membaca Qulya dan Qulhu adalah sunnah Rasulullah, tetapi bukan untuk shalat Dhuha, melainkan shalat Fajr. Kita tidak dibatasi membaca surah yang manapun yang kita sukai, karena semua Al-Qur’an adalah kebaikan.

 Doa pun tidak dibatasi, kita boleh berdoa apa saja asalkan bukan doa untuk keburukan.

Doa yang terkenal dalam mazhab Syafi’i ada pada slide selanjutnya. Selain doa itu kita boleh membaca doa yang kita sukai. Namun karena ada aturan mazhab, maka hendaklah kita jangan melupakan agar memulai doa itu dengan menyebut nama ALLAH, memuji syukur kepada-NYA dan kemudian bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Do’a Sesudah Shalat Dhuha

 




ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘ADHUHAA ‘UKA – WAL BAHAA ‘ABAHAA ‘UKA – WAL JAMAALA JAMAALUKA – WAL QUWWATA QUWWATUKA – WAL QUDRATA QUDRATUKA – WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA.
ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU – WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU – WA IN KAANA MU’ASSARAN FA YASSIRHU – WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU – WA IN KAANA BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WA JAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA QUDRATIKA.
AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.

Artinya:

“Wahai ALLAH, bahwasanya waktu Dhuha itu waktu Dhuha-MU – dan kecantikan adalah kecantikan-MU – dan keindahan adalah keindahan-MU – dan kekuatan adalah kekuatan-MU – dan kekuasaan adalah kekuasaan-MU – dan perlindungan itu adalah perlindungan-MU.

Wahai ALLAH, jikalau rejekiku masih diatas langit, maka turunkanlah – Dan jikalau ada didalam bumi maka keluarkanlah – dan jikalau sukar maka mudahkanlah – dan jika haram maka sucikanlah – dan jikalau masih jauh maka dekatkanlah dengan berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-MU.

Limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang shaleh.

 

 


Seseorang yang mengklaim bahwa dia mencintai seseorang akan lebih memilih yang dicintai dibanding semua orang, ia juga akan lebih memilih apa yang disukai oleh yang dicintainya, jika tidak demikian maka dia tidak akan bertindak sesuai yang dicintanya dan artinya cintanya juga tidak akan tulus. Tanda-tanda berikut ini akan menjadi jelas pada mereka yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad Sall Allahualaihi wa Sallam,

Pertama: Tanda pertama cinta kepada Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah bahwa dia akan mengikuti contoh-contohnya, menerapkan cara Nabi saw dalam kata-kata, perbuatan, ketaatan kepada perintah-Nya, menghindari apa pun yang dilarang dan mengadopsi sikap Nabi saw pada saat diberi kemudahan, sukacita, kesulitan, dan penderitaan. Allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad) dan Allah akan mencintaimu.” [Al-Imran: 31]

Kedua: Tanda kedua adalah bahwa dia akan menyingkirkan keinginan sendiri dan nafsunya dengan mengikuti hukum yang didirikan dan didorong oleh Nabi SallAllah alaihi wa Sallam. Allah berfirman, “Kepada orang-orang sebelum mereka yang telah membuat tempat tinggal mereka di tempat tinggal (Kota Madinah), dan karena keimanannya mereka mengasihi orang yang telah beremigrasi ketempat mereka, mereka tidak menemukan irihati dan dengki dalam dada mereka untuk apa yang telah diberikan dan lebih memilih mereka atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri memiliki kebutuhan. ” [Al Hasyr: 9]

Ketiga: Tanda ketiga adalah bahwa kemarahan seseorang karena orang lain hanya demi mencari keridhaan Allah. Anas, putra Malik diberitahu oleh Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, “Anakku, jika Anda dapat menahan diri dari dendam di hati Anda dari pagi hingga sore, kemudian melakukannya.” Dia kemudian menambahkan, “Anakku, yang merupakan bagian dari jalan kenabian bahwa barang siapa yang menghidupkan kembali cara saya dan mengasihi Aku, dan barangsiapa mencintaiku akan bersama dengan saya di surga.” [Sunan Tirmidh, Kitab al-Ilm, Vol 4, Halaman 151]

Jika seseorang memiliki kualitas baik ini, maka dia memiliki cinta yang sempurna untuk Allah dan Rasul-Nya. Jika dia menjadi sedikit kurang dalam kualitas ini maka cintanya tidak sempurna. Bukti ini ditemukan dalam ungkapan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, ketika seseorang menghadapi hukuman karena mabuk. Sebagaimana orang itu akan menerima hukuman seorang pria mengutuk sang pelaku, dan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan mengutuk dia. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” [Sahih Bukhari, Kitab al-Hudud, Vol 3, Halaman 133]

Keempat: Tanda keempat adalah bahwa seseorang yang mencintai selalu menyebutkan nama Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, dalam kelimpahan – siapa mencintai sesuatu, terus-menerus pada lidahnya bersalawat kepada Nabi saw. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 32]

Kelima: Tanda kelima adalah kerinduan untuk bertemu Nabi SallAllahu Alaihi wa Sallam. Setiap kekasih rindu untuk bersama mereka yang tercinta. Ketika suku Asy’ariyah mendekati Madinah, mereka mendengar nyanyian, “Besok, kita akan bertemu dengan orang yang kita cintai, Muhammad saw dan para sahabatnya!” [Dalail an-Nabuwwah lil Baihaqi, Jilid 5, Halaman 351]

Keenam: Tanda keenam adalah bahwa setiap mengingat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, seseorang yang mencintainya akan ditemukan memuji dan menghormati setiap kali namanya disebutkan dan kemudian menampilkan kerendahan hatinya dan lebih merendahkan dirinya sendiri ketika ia mendengar namanya. Kami diberitahu oleh Isaac at-Tujibi bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, setiap kali para sahabat mendengar namanya disebutkan mereka menjadi lebih rendah hati, kulit mereka gemetar dan mereka menangis karena cinta. Adapun para pengikut lain dari Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, beberapa sahabat mengalami rasa cinta yang luar biasa sehingga meneriakkan salam kerinduan untuknya, sedangkan yang lain melakukannya karena rasa hormat dan penghargaan pada Rasulullah sawi. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 33]

Ketujuh: Tanda ketujuh adalah ungkapan kasih yang diungkapkan untuk Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, dan para ahlul bayt (keturunan Nabi saw) dan sahabatnya – para Muhajirin dan bani Ansar sama besarnya demi kehormatan Nabi saw. Seseorang dengan tanda ini akan ditemukan memusuhi orang-orang yang membenci mereka.

Nabi saw berkata kepada umatnya sambil menunjuk cucunya Sayidina Al Hasan dan Al Husain, semoga Allah senang dengan mereka, Nabi Alaihi SallAllaho alaihi wa Sallam, berkata, “Ya Allah, aku mencintai mereka, maka cintailah mereka.”

Sahih Bukhari,Kitabal Manaqib,Vol 5, Halaman 23
Sahih Muslim,Kitabal Fadhail,Vol 4, Halaman 1883
Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 327

Al-Hasan mengatakan bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, juga mengatakan, “Ya Allah, aku mencintainya, dan cinta orang yang mencintainya.” Dua cucunya, Nabi saw juga mengatakan, “Barangsiapa mencintai mereka, maka mencintai aku.” Kemudian ia berkata. Barang siapa mencintaiku, maka dia mencintai Allah. Barang siapa yang membenci mereka membenci saya dan barangsiapa membenci saya artinya membenci Allah. ”

Muqaddam Sunan Ibn Maja,Vol 1, Page 51
Majma ‘az-Zawaid, Vol 9, Halaman 180

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Jangan membuat teman saya sebagai sasaran setelah kepergian ku! Barangsiapa mengasihi mereka, maka mengasihi mereka itu karena mereka mencintaiku, dan barang siapa membenci mereka, adalah juga kebencian mereka terhadap aku, Barangsiapa merugikan mereka, maka mereka merugikan aku. Barangsiapa yang melukai sahabatku dan keluargaku, seolah-olah itu adalah menyakitiku (Nabi saw) dan artinya juga Allah. Barang siapa menyaikiti Allah, maka mereka akan dibuang.

Sunan Tirmidzi, Kitabal Manaqib,Vol 5, Halaman 358
Musnad Ahmad, Vol 5, Halaman 54

Keluarga Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah berasal dari Sayidah Fathimah, semoga Allah senang dengan dia, “Dia adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membenci dia, maka mereka membenci saya.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib,Vol 5, Halaman 24
Sahih Muslim, Kitab Fadhail as-Sahaba, Vol 4, Halaman 1903

Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, mengatakan kepada Sayidina Aisyah untuk mencintai Osama, putra Zaid karena dia mencintainya. [Sunan Tirmidzi, Kitab al-Manaqib, Vol 5, Halaman 342]

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berbicara kepada Ansar, berkata, “Tanda iman adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah kebencian kepada mereka.”

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib,Vol 5, Page 27
Sahih al Bukhari, Kitab al Iman,Vol 1, Page 9
Sahih Muslim, Kitab al Iman, Vol, Halaman 85

Anak Omar mengatakan kepada kita bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, “Barang siapa mencintai orang-orang Arab dan mengasihi mereka karena dia mencintaiku, dan barangsiapa membenci mereka, itu adalah karena kebencian mereka terhadap aku..” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Faktanya adalah ketika seseorang mencintai yang lain, dia mencintai segala sesuatu yang dicintai orang itu, dan ini memang terjadi dengan para sahabat. Ketika Anas melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, makan sepotong labu, ia berkata, “Dari hari itu maka akupun mencintai labu.” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Al-Hasan, cucu Nabi, semoga kedamaian Allah atas mereka, pergi dengan Jafar Salma dan memintanya untuk menyiapkan beberapa makanan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, yang biasa digunakan untuk makan. [Shamail Tirmidzi, Halaman 155]

Omar pernah melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, mengenakan sepasang sandal berwarna kuning, sehingga dia juga mengenakan sepasang sandal dengan warna yang sama.

Sahih al Bukhari, Kitab al-libas,Vol 7,Halaman132
Sahih Muslim, Kitab al-Hajj, Vol 2, Halaman 844

Kedelapan: Tanda kedelapan, kebencian terhadap siapa saja yang membenci Allah dan Rasul-Nya. yaitu dengan membenci orang-orang yang menunjukkan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Orang beriman memiliki tanda ini menghindari semua yang menentang cara kenabian, dan bertentangan dengan orang-orang yang memperkenalkan inovasi dalam cara kenabian (yang bertentangan dengan semangat Islam) dan menemukan hukum yang memberatkan. Allah berkata, “Anda akan menemukan tidak ada umat yang beriman kepada Allah dan Hari Terakhir yang mencintai siapapun yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” [Al Mujadilah: 22]

Kesembilan: Tanda kesembilan ditemukan pada mereka yang mencintai Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi saw, dimana mereka dibimbing. Ketika ditanya tentang Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, Sayidah Aisyah, ra dia, berkata, “karakter Nabi adalah Al-Qur’an.” Bagian dari cinta Al-Qur’an adalah mendengarkan bacaan, bertindak sesuai dengan itu, pemahaman itu, menjaga dalam batas-batas dan cinta cara Nabi Muhammad. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Sahal, putra Abdullah berbicara tentang tanda ini mengatakan, “Tanda mencintai Allah adalah cinta Al-Qur’an Tanda mencintai Al-Qur’an adalah cinta Nabi.Tanda mencintai Nabi SallAllahu alaihi wa sallam, adalah cinta cara kenabiannya. Tanda mencintai cara kenabian adalah cinta akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia ini. Tanda kebencian bagi dunia ini adalah bahwa Anda tidak mengumpulkan semua kecuali untuk sedikit saja sesuai ketentuan dan apa yang Anda butuhkan untuk tiba dengan selamat di akhirat. ” [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Anak Mas’ud mengatakan, “Tidak ada yang perlu bertanya pada diri sendiri tentang apa pun, selain Al-Qur’an, jika ia mencintai Al Qur’an maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya” pujian dan damai besertanya. [Baihaqi fil Aadaab, Hal 522]

Kesepuluh: Tanda kesepuluh cinta untuk Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah untuk mengasihani umatnya dengan menasihati mereka dengan baik, berjuang untuk kemajuanmereka dan menghapus segala sesuatu yang berbahaya dari jalan mereka dan dalam cara yang sama bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata “kasih sayanglah kepada orang yang beriman.” [Al-Taubah: 128]

Kesebelas: Tanda kesebelas kasih yang sempurna ditemukan dalam membatasi siapa dirinya melalui penyangkalan diri, lebih memilih kemiskinan dari kenikmatan atraksi dunia. Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata Abu Sa’id Al Khudri, “Kemiskinan akan datang kepada Anda yang mencintai saya, mengalir lebih cepat daripada banjir dari puncak gunung ke dasarnya.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Seorang pria datang kepada Nabi Alaihi wa Aalihi SallAllaho wa Sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mencintaimu.” Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, memperingatkan, “Hati-hati dari apa yang Anda katakan.” Pria itu mengulangi cintanya sampai tiga kali, dimana Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Jikalau kamu mengasihi ku maka persiapkan diri mu dengan cepat untuk kemiskinan.” [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Ya ALLAH SWT! Kami memohon kepadaMU untuk mengisi hati kita dengan Kasih yang benar dan besar dari sifat Karim yang terkasih, Habibullah. Kita tetap hidup pada Sunnah-nya dan memberkati kita dengan kematian pada Iman di Kota terkasih Nabi Terkasih saw dan kuburkan kami dengan Ahl al-Baqi ‘asy-Syarif … Aamin!

Sumber : Majelis Salawat Samudera Cinta Rasulullah saw

 

 


“Allahu akbar Allahu akbar, Laa ilaaha ilallahu Allahu akbar. Allahu akbar, wa lillahilhamdu”, Kumandang takbir membahana di seluruh penjuru kota, perjuangan selama satu bulan penuh melawan lapar haus dan hawa nafsu telah selesai. Hati orang-orang galau karena ditinggal pergi oleh bulan yang tiada dapat dihitung kemegahannya, namun di satu sisi mereka pun senang karena kemenangan telah didapat dan gelar Muttaqin segera diraih.

Bagaimana perasaanmu wahai Lelaki Yang Terpuji? Surat Al-A’laa dan Al-Ghaasyiyah yang kau baca dalam dua rakaat salat hari raya dengan suara merdumu cukuplah membuat para sahabatmu terharu. Apalagi jika sesungguhnya sahabatmu mengetahui bahwa itulah hari raya Idul Fitri terakhirmu, wahai Lelaki Yang Bersahaja. Setelah engkau sampaikan khutbah, Engkau jabat tangan mereka dan engkau dekap dalam dekapanmu yang hangat dan penuh kasih sayang.

Seperti halnya kebiasaannya di hari raya yang telah berlalu, Rasulullah berjalan pulang melalui jalan yang berbeda. Ia dapati seorang anak yang terisak-isak, jauh dari teman-temannya dan jauh pula dari keceriaan. Mata anak itu telah lebam oleh tangis, suaranya serak dan sesenggukan, pakaiannya tak lagi layak pakai, penuh robekan dan tambalan serta kumal. Rasulullah menghampiri anak kecil itu, dengan nada suara yang penuh sajaha dan kriteria kebapakan yang luar biasa ia berkata sambil meletakkan tangannya yang lebih wangi dari bunga mawar ke atas kepala anak itu, “Wahai anakku, kenapa engkau menangis? Kenapa tidak bermain bersama teman-temanmu? Bukankah ini hari raya, mestinya engkau bersenang-senang.”

Dengan wajah sendu, anak kecil perempuan itu menjawab kata-kata dari orang yang sebenarnya belum ia kenal,”Bagaimana mungkin aku dapat bersenang-senang di hari raya? Sedangkan aku sudah tak memiliki ayah lagi. Ayah yang pernah membelikanku sebuah gaun saat hari raya tahun lalu telah dipanggil oleh Allah saat ia berjuang bersama Rasulullah di medan perang, sedangkan ibuku menikah dengan seorang lelaki kejam yang mengusirku dari rumah. Ayahku telah tiada dan kini aku telah menjadi yatim. Kalau bukan untuknya, untuk siapa lagi tangis ini keluar?” Air mata anak itu terus mengalir deras, sudah basah mukanya oleh air mata yang tak kunjung berhenti.

Rasulullah saw yang sangat menyantuni anak yatim tak tahan mendengarnya, bulir-bulir air mata mengalir dari sudut matanya, membasahi wajahnya yang mulia dan indah dipandang. Langsung ia peluk tubuh anak kecil itu, tak peduli dengan bau dan kotornya.”Wahai anakku, sekarang aku ingin bertanya padamu. Maukah kau menjadikan aku ini sebagai ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, Fatimah sebagai kakakmu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husain sebagai saudaramu?”

Anak kecil itu terkejut saat menyadari bahwa orang yang telah ia jadikan sebagai tempat mencurahkan kesedihannya adalah Rasulullah. Tubuhnya merinding. Raut wajahnya secepat kilat berubah menjadi cerah. Kata-katanya tertahan seakan tak dapat berbicara. Hanya anggukan tanda persetujuan.

Anak kecil itu berjalan sambil bergandengan tangan dengan Rasulullah, penuh kasih. Hatinya bahagia tak terperi, derap jiwanya sangat indah. Adakah yang lebih membahagiakan dibanding menjadi anak seorang manusia yang paling mulia? Bahkan teman-teman anak itu bergumam, “Seandainya ayah kami juga terbunuh.” Sungguh luar biasa cintamu pada seorang yatim, wahai Lelaki Yang Penyantun.

Anak kecil itu dirawat dengan baik, ia diberikan gaun, rambutnya disisir rapi, dan seluruh keluarga Rasulullah memperlakukannya dengan baik.

Namun kebahagiannya tak bertahan lama, beberapa bulan setelah peristiwa itu, Rasulullah wafat. Hati anak kecil itu kembali bersedih, ia keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di atas kepalanya sebagai tanda kesedihan yang teramat dalam. “Kini aku kembali menjadi yatim,” air matanya kembali bercucuran. Yatim, menjadi yatim kembali…….

Setelah Rasulullah wafat, ia diasuh oleh Ali bin Abi Thalib (Dalam riwayat lain ia diasuh oleh Abu Bakar Shiddiq)

“Barang siapa mencintai dan menyantuni anak-anak yatim, kelak akan hidup berdampingan bersamaku di surga.” kata Nabi Muhammad SAW.

Itulah sedikit dari banyak kisah Rasulullah bersama anak yatim. Semestinya menginspirasi bagi yang mau menerima.

Santunilah anak yatim, usap kepalanya. Kalau melihat bakul anak yatim di mesjid, maka isi dengan uangmu, apa susahnya? Jangan pernah kita hardik, karena Allah akan murka. Orang-orang yang menghardik anak yatim termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama.

Berbagi itu indah. Rasakan dan ketahuilah bahwa sebenarnya, saat kita berbagi kepada orang yang membutuhkan, maka pihak yang paling berbahagia bukanlah yang diberi, melainkan yang memberi.

 

 


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (Maryam 59-60)

Ibnu Abbas Radhiy allahu Anhu berkata,“Makna menyia-nyiakan shalat bukanlah meninggalkannya sama sekali, tetapi mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya.”  (Diriwayatkan Ibnu Jarir 16/17)

Imampara Tabi’in, Sa’id bin Musayyib berkata, “Maksudnya adalah orang itu tidak mengerjakan Shalat Zhuhur hingga datang waktu ‘Ashr. Tidak mengerjakan Shalat ‘Ashr hingga datang waktu Maghrib. Tidak shalat Maghrib sampai datang Isya’. Tidak shalat Isya’ sampai fajar menjelang. Tidak shalat Shubuh sampai matahari terbit. Barangsiapa mati dalam keadaan terus menerus melakukan hal ini dan tidak bertaubat, Allah menjanjikan baginya “Ghay”, yaitu lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam dasarnya lagi sangat tidak enak rasanya.”

Di tempat lain Allah berfirman,“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lupa akan shalatnya.” (Al Ma’un 4-5)

Orang-orang lupa adalah orang-orang yang lalai dan meremehkan shalat.

Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu‘Anhuberkata,“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang orang-orang yang lupa akan shalatnya. Beliau menjawab: Yaitu pengakhiran waktu.” (HR Al Baihaqi, dha’if)

Mereka disebut orang-orang yang shalat, tapi ketika mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya, mereka diancam dengan “wail”, adzab yang berat. Ada juga yang mengatakan bahwa wail adalah sebuah lembah di nerakan Jahannam. Jika gunung-gunung yang ada di dunia ini dimasukkan ke sana, niscaya akan meleleh semuanya karena sangat panasnya. Itulah tempat bagi orang-orang yang meremehkan shalat dan mengakhirkannya dari waktunya, kecuali orang-orang yang bertaubat kepada Allah Ta’ala dan menyesal atas kelalaiannya.

Di ayat yang lain, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Munafiqun 9)

Para mufassir mengatakan, “Maksud ‘mengingat Allah’ dalam ayat ini adalah shalat lima waktu. Maka barangsiapa disibukkan oleh harta perniagaannya kehidupan dunianya, sawah ladangnya, dan anak-anaknya dari mengerjakan shalat pada waktunya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.”

Demikianlah,. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlah bersabda, “Amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dari seorang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka telah sukses dan beruntunglah ia. Sebaliknya, jika rusak, sungguh telah gagal dan merugilah ia.” (HR Al Baihaqi dengan sanad lemah tapi menjadi shahih dengan jalur periwayatan lain)

Berkenaan dengan penghuni neraka, Allah berfirman, “”Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (Al Mudatsir 42-48)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya ikatan (pembeda) antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka telah kafirlah ia.” (HR Ahmad, hasan)

Beliau juga bersabda, “Batas antara seorang hamba dengan kekafirannya adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim no. 82)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa tdak mengerjakan shalat ‘Ashr, terhapuslah amalnya.” (HR Al Bukhari no. 553)

Juga, “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, sungguh telah lepaslah jaminan dari Allah.” (HR Ahmad, hasan)

Juga, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan “La ilaha illallah” dan mengerjakan shalat, serta membayar zakat. Jika mereka telah memenuhinya, mak adarah dan hartanya aku lindungi kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya, maka itu kepada Allah.” (Mutafaqun ‘Alaihi)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menjaganya, maka ia akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari Kiamat nanti. Sedangkan yang tidak menjaganya, maka tidak akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari itu. Pada hari itu akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Qarun, Haman, dan Ubai bin Khalaf.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih)

Umar bin Khathab berkata, “Sesungguhnya tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan shalat.” (HR Ahmad dan Ad Daruquthni, shahih)

Sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat dikumpulkan dengan empat orang itu karena ia telah menyibukkan diri dengan harta, kekuasaan, pangkat jabatan, dan perniagaan dari shalat. Jika ia disibukkan dengan hartanya, ia akan dikumpulkan bersma Qarun. Jika ia disibukkan dengan kekuasaannya, maka ia akan dikumpulkan dengan Fir’aun. Jika ia disibukkan dengan pangkat jabatannya, ia akan dikumpulkkan bersama Haman, dan Jika ia disibukkan dengan perniagaannya, akan dikumpulkan bersama Ubai bin Khalaf, seorang pedagang kafir di Makkah saat itu.”

Mu’adzbin Jabal meriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, telah lepas darinya jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR Ahmad, hasan)

Umar bin Al Khathab meriwayatkan, telah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bertanya, “Wahai Rasulullah, amal dalam islam apakah yang p[aling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya. Barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh ia tidak lagi memiliki Ad Din lagi, dan shalat itu tiang Ad Din.” (HR Al Baihaqi, dha’if)

Ketika Umar terkena tusukan, seseorang mengatakan, “Anda tetap ingin mengerjakan shalat, wahai Amirul Mukminin?”

“Ya, dan sungguh tidak ada tempat dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat,” jawabnya. Lalu, ia pun mengerjakan shalat meski dari lukanya mengalir darah yang cukup banyak.

Abdullah bin Syaqiq, seorang tabi’in, menuturkan, “Tidak ada satu amalanpun yang meninggalkannya dianggap kufur oleh para shahabat selain shalat.” (HR At Tirmidzi 2622, shahih)

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang seorang wanita yang tidak shalat. Ia menjawab, “Barangsiapa tidak shalat, maka kafirlah ia.” (HR Ibnu Abi Syaibah, shahih)

Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa tidak shalat, maka ia tidak mempunyai din.” (HR Ath Thabrani, hasan)

Ibnu Abbas berkata, “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja sekali saja, niscaya akan menghadap Allah yang dalam keadaan murka kepadanya.” (HR Muhammad bin Nashir, mauquf)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyia-nyiakan shalat, Dia tidak akan mempedulikan suatu kebaikan pun darinya.” (HR Ath Thabrani)

Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah syirik selain mengakhirkan shalat dari waktunya dan membunuh Mukmin bukan dengan haknya.”

Ibrahim An Nakha’i berkata, “Barangsiapa meninggalkan shalat maka telah kafir.” Hal senada diungkapkan oleh Ayyub As Sikhtiyani.

‘Aun bin Abdullah berkata, “Apabila seorang hamba dimasukkan ke dalam kuburnya, ia akan ditanya tentang shalat sebagai sesuatu yang pertama kali ditanyakan. Jika baik, barulah amal-amalnya yang lain dilihat. Sebaliknya, jika tidak baik, tidak ada satu amaln pun yang dilihat, (dianggap tidak baik semuanya).”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila seorang hamba mengerjakan shalat di awal waktu, shalat itu (ia memiliki cahaya) akan naik ke langit sehingga sampai ke Arsy, lalu memohonkan ampunan bagi orang yang telah mengerjakannya, begitu seterusnya sampai hari kiamay. Shalat itu berkata, “Semoga Allah menjagamu sebagaimana kamu telah menjagaku.” Dan apabila seorang hamba mengerjakan shalat bukan pada waktunya, shalat itu (ia memiliki kegelapan) akan naik ke langit. Sesampainya di sana, ia akan dilipat seperti dilipatnya kain yang usang lalu dipukulkan ke wajah orang yang telah mengerjakannya. Shalat itu berkata, “Semoga Allah menyia-nyiakanmu, sebagaimana kamu telah menyia-nyiakanku.” (HR Al Baihaqi, dha’if)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah, seseorang yang memimpin suatu kaum padahal kaum itu membencinya. Seseorang yang mengerjakan sgalat ketika telah lewat waktunya, dan seseorang yang memperbudak orang yang memerdekakan diri.” (HR Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dha’if)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menjama’ dua shalat tanpa udzur, sungguh ia telah memasuki pintu terbesar di antara pintu-pintu dosa besar.”

Marilah kita memohon taufiq dan i’anah kepada Allah, sesungguhnya dia Maha pemurah dan Maha Pengasih di antara mereka yang mengasihi.

Imam Adz Dzahabi – Al Kabair

 

 


Suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallama Menjadi imam sholat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi gemercik menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.

Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai sholat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.”

Mendengar jawaban ini Umar bin khatab melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…”

Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya,Rasulullah pun mengangkat jubahnya.

Para sahabat amat terkejut. Terlihatlah perut Manusia yang dimuliakan Allah ini, Dan Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.

Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?”

Rasulullah menjawab dengan lembut,

”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. TETAPI APAKAH YANG AKAN AKU JAWAB DIHADAPAN ALLAH NANTI,APABILA AKU SEBAGAI PEMIMPIN, MENJADI BEBAN BAGI UMMATNYA..??”

Para sahabat yang mendengar hanya tertegun menderaikan air mata. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

SEBARKAN BERITA INI,
Betapa cintanya Rasulullah kepada umatnya. Semoga kelak di akhirat nanti kita mendapatkan Syafa’atul Udzmah di Yaumil Qiyamah nanti..dan kita di kukuhkan keimanan serta keIslaman kita agar terus meneladani dan Mencintai beliau.

اللهم اجعلنا من احباب المصطفىيارب صل علي محمد وافتح من الخير كل مغلقاللهم صل وسلم وبارك على الحبيب المصطفى وعلى آله وصحبه اجمعين

AAMIIN YA RABBAL ‘AALAMIIN…

 


Dunia pengetahuan sempat mengalami zaman keemasan dengan bermunculannya ilmuwan-ilmuwan Muslim dari berbagai dunia. Mereka berhasil memberikan penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan penerus saat ini.

Namun, seiring jaman berkembang, nama-nama mereka kurang dikenal oleh masyarakat dewasa ini. Berikut lima ilmuwan Muslim paling berpengaruh di dunia:

1.Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi (Al-Farabi)
Dunia mendaulatnya sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Julukan itu disematkan kepada Al-Farabi karena dedikasi, jasa dan kiprahnya dalam dunia pengetahuan. Ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan ini dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka pada era abad pertengahan (871-950).

Selama hidupnya Al-Farabi menciptakan banyak karya dalam ilmu pengetahuan. Karyanya tersebut berupa, logika, ilmu-ilmu matematika, ilmu alam, teologi, ilmu politik dan kenegaraan serta bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah yang artinya kota atau negara utama yang membahas tentang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam.

Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak kecil, ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.

Pada masa awal pendidikannya, al-Farabi belajar Alquran, tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (fikih, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar. Ia juga mempelajari musik di Burkhara dan belajar filsafat di Kota Harran.

Pemikirannya mengenai seorang pemimpin juga telah menginspirasi para pemimpin Islam dunia. Al-Farabi mengatakan bahwa pemimpin merupakan seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).

2. Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan ar-Raqqi al-Harrani as-Sabi al-Battani (AlBattani)
Ilmuwan yang juga dikenal sebagai Albatenius ini merupakan seorang ahli astronomi dan matematikawan dari Arab (858-929 M). Ilmuwan yang lahir di Kota Harran dekat Urfa ini memiliki pengaruh besar dalam dunia matematika.

Al Battani berhasil menemukan sejumlah persamaan trigonometri dan memecahkan persamaan sin x = a cos x. Ia menggunakan gagasan al-Marwazi tentang tangen dalam mengembangkan persamaan-persamaan untuk menghitung tangen, cotangen dan menyusun tabel perhitungan tangen.

Salah satu pencapaiannya yang terkenal dalam astronomi adalah tentang penentuan Tahun Matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.

3.Abu Raihan Al-Biruni (Al-Biruni)
Al-Biruni merupakan matematikawan Persia, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang matematika, filsafat dan obat-obatan.

Ia dilahirkan di Khawarazmi, Turkmenistan atau Khiva di kawasan Danau Aral di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran Persia. Dia belajar matematika dan pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur.

Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina/Ibnu Sina, sejarawan, filsuf, dan pakar etik Ibnu Miskawaih, di universitas dan pusat sains yang didirikan oleh putera Abu Al Abbas Ma’mun Khawarazmshah.

Al-Biruni juga mengembara ke India dengan Mahmud dari Ghazni dan menemaninya dalam ketenteraannya di sana, mempelajari bahasa, falsafah dan agama mereka dan menulis buku mengenainya. Dia juga menguasai beberapa bahasa diantaranya bahasa Yunani, bahasa Suriah, dan bahasa Berber, bahasa Sanskerta.

Al-Biruni juga menulis banyak buku dalam bahasa Persia dan bahasa Arab. Ketika berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari.

Selanjutnya, saat berusia 22 tahun, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta, “Kartografi”, yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar.

Kemudian, menginjak usia 27 tahun, dia telah menulis buku berjudul “Kronologi” yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan olehnya termasuk sebuah buku tentang astrolab, sebuah buku tentang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, dan 2 buku tentang sejarah.

Al-Farabi juga membuat penelitian radius Bumi kepada 6.339,6 kilometer yang digunakan di dunia Barat pada abad ke 16.

4.Ibn al-Haytham (Alhazen)
Dikenal sebagai bapak optik modern karena penemuan dan karya-karyanya di bidang ilmu optik dan pencahayaan benda. Penemuan itu menjadi cikal bakal kamera yang masih digunakan sampai sekarang ini.

Penemuannya sudah ada sebelum Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Keppler, dan Newton, penemu hukum pemantulan dan pembiasan cahaya jauh sebelum Snellius, penemu alat ukur ketinggian bintang kutub, menerangkan pertambahan ukuran bintang-bintang dekat zenit.

Alhazen juga dikenal dengan nama Al-Basri karena dia lahir di Kota Basra. Alhazen adalah seorang ilmuwan matematika, astronomi, meteorologi dan metode sains. Al-haytham dalam bahasa Arab artinya adalah burung elang muda. Ia lahir tahun 965 M di Basra kemudian meninggal tahun 1040 M di Kairo.

5.Muhammad bin Musaal-Khawarizmi
Ia merupakan seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi yang berasal dari Persia. Lahir sekitar tahun 780 M di Khwarizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 M di Baghdad. Hampir sepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad.

Buku pertamanya, Al-Jabar, adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar.

Transliterasi bahasa Latin dari Aritmatikanya, yang memperkenalkan angka India, kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke 12. Ia merevisi dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.

Sejarawan al-Tabari menyebutnyaMuhammadbin Musa al-Khwarizmi al-Majousi al-Qutrubbulli. Sebutan al-Qutrubbulli mengindikasikan dia berasal dari Qutrubbull, kota kecil dekat Baghdad.

Ia telah menjadi panutan bagi ilmuwan dari dunia Barat. Karyanya berupa kitab Aljabar, Dixit algorizmi, Rekonstruksi Planetarium, dan Kampus Corpus Christi MS 283.

 

 

 


Hijrah adalah sunnatullah dalam kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan berhijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas mer­deka dari sistem Jahiliyah dan penindasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap mereka.

Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah seorang mukmin mendapat perlindungan dari saudara-saudaranya yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa­nya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu lindung melindungi.

Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebe­um mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Bagian Bumi yang paling Baik

Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk Islamnya sekelompok penduduk Madinah membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang mukmin di Makkah.

Dalam upaya menyelamatkan dakwah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah, bersegera hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun sebelumnya Nabi SAW memerintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para sahabat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh musuh.

Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau. Ketika saatnya tiba, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, pemuda-pemuda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Rasulullah di malam itu sudah mengepung rumah beliau. Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk memakai jubahnya yang berwarna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah untuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksanakan hijrah.

Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari.

Menjelang larut malam, Rasulullah saw keluar dari rumah beliau dan menaburkan pasir ke kepala para pemuda tsb sambil membaca :

“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9)

Rasulullah pun lolos dari penglihatan para pemuda tsb dan menuju ke rumah Abu Bakar dan terus bertolak ke arah selatan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.

Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah memutuskan menempuh jalan lain, rute yang berbeda, dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Beliau juga memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.

Para pemuda Quraisy yang berencana akan menyergap Nabi SAW pun kemudian memasuki rumah beliau. Namun alangkah terkejutnya mereka, karena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.

Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.

Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.

Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”

Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut.

Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memantau perkembangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy berusaha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu. Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi mendengar derap langkah orang-orang itu. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu.

Bagaimana jadinya?”

Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.

Padang Pasir nan Gersang

Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan gua tersebut. Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madinah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.

Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari karena panas yang membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allahlah yang membuat Rasulullah dan sahabatnya berteguh hati dan merasakan damai yang menyelimuti.

Sambutan Penuh Suka Cita

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M, Rasulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Kemudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, sementara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum pernah melihat dan bertemu Rasulullah mengira bahwa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.

Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera memayungi beliau dengan jubahnya. Saat itulah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksanakan di tempat Bani Salim bin Auf. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.

Pada hari Jum’at itu pula beliau melanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib (Madinah). Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair pun berkumandang:

“Thola‘al badru ‘alayna Min Tsaniyyatil Wada’ Wajabasy syukru ‘alayna Ma da‘a lillahi da‘ Ayyuhal mab‘utsu fina Ji’ta bil amril mutha’ “

Telah nampak bulan purnama Dari Tsaniyyah Al-Wada’ Wajiblah kami bersyukur Atas masih adanya penyeru kepada Allah Wahai orang yang diutus kepada kami Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati

Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyublah Nabi SAW memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum. Hari itu jatuh pada hari Jum’at, sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan langkahnya. Nabi SAW turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.

Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam perjalanan hijrah yang amat berkesan.

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permusuhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak memperdulikan lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah. Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan. Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahunya yang kokoh. Saat meninggalkan rumahnya, ia menuju Ka’bah. Sambil disaksikan beberapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilindungi perjalanannya.

Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Kisah Keteladanan

Saat hijrah berlangsung, banyak peristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam. Di antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, karena tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat menangkap Rasul SAW.

Namun, belum sempat mendekati Rasul, kudanya terperosok dan ia pun terjungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya untuk menangkap Rasulullah SAW karena tergoda oleh imbalan besar yang dijanjikan orang-orang kafir Quraisy.

Rasulullah kemudian memaafkannya. Inilah kebesaran jiwa Nabi, yang mesti diteladani umat. Walaupun seseorang sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.

Perjalanan hijrah para sahabat pun banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah ke Madinah meninggalkan harta, negeri, dan keluarga besar mereka. Mereka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok, seperti hijrahnya Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu de­ngan ‘Ayyasy dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha bersama anak dan pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hij­rahnya Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.

Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar Quraisy menghalanginya di tengah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib Ar-Rumi, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin. Kemudian hartamu bertambah banyak ketika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”

Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shuhaib telah mendapatkan keberuntungan.”

Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika mereka menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu kalian membiarkan aku pergi?”

Mereka pun setuju.

“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah  emas.’

Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.

Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau mem­baca ayat ini (yang artinya, ‘Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.

Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian dengan itu semua.”

Akhirnya orang-orang Quraisy setuju dan membiarkan jalannya menuju Madinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.

Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani (2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari kendaraannya dan mengeluarkan isi tempat panahnya serta menyiapkan busurnya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang ahli memanah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan pedangku selama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’

 Lalu mereka menjawab, ‘Serahkanlah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah  dan kami akan membiarkan kamu pergi.’

Kemudian orang-orang musyrik itu mem­buat perjanjian bahwa, bila ia menyerahkan kepada mereka, mereka akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya. Maka Rasulullah pun bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”

Lihatlah bagaimana komitmen terhadap Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia serahkan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia serahkan seluruh harta bendanya bukan karena takut menghadapi orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Madinah dengan tanpa masalah. Perjuangan yang patut dicontoh dan diteladani.

***

Awal penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu mencapai puncaknya pada pertengahan tahun kelima.

Ujian ini membuat kaum muslimin berpikir mencari cara yang dapat menyelamatkan mereka dari siksaan yang pedih itu. Dalam kondisi tersebut turunlah Surat Az-Zumar, yang di dalamnya terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT berfirman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” — QS Az-Zumar (39): 10.

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka beliau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istrinya, Sayyidah Ruqayyah, putri Rasulullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Fathimah berpisah dengan kakak perempuannya, Ruqayyah. Dalam perpisahan tentu terdapat kekhawatiran, tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di jalan menegakkan agama Allah. Bahkan, segala sesuatu menjadi remeh. Anak menjadi remeh, dan harta pun menjadi remeh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meskipun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan ter­masuk orang yang pertama hijrah untuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum mukminin semuanya, karena Islam bukanlah agama diskriminatif.

Fathimah menghapus air mata yang keluar karena perpisahan dengan saudara perempuannya. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman, karena saudara itu akan mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Setelah perpisahan ia pergi menjumpai ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadijah, melihat air mata di kedua matanya dan senyuman di bibirnya. Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju Habasyah itu dapat berlangsung dengan selamat.

Fathimah dan ayahnya kemudian merasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabulkan keinginan  kedua hati itu. Kemudian datang seorang perempuan dari kalangan Quraisy yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sungguh aku melihat menantumu bersama dengan istrinya di atas keledai yang ditungganginya.”

Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang pertama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya mereka berdua adalah orang pertama yang hijrah ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”

Ruqayyah tidak kurang kerinduannya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan saudara-saudara perempuannya. Bahkan, mungkin ia termasuk yang paling menginginkan kembali ke Makkah di antara mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah kehilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara perempuannya sebelum itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat yang dialaminya terutama ketika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, yang sangat mempengaruhi kesehatannya, sehingga orang khawatir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suaminya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, yang semua itu membantunya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboikotan yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Semuanya Bersujud

Akar dari berita yang tersebar itu adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu menuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya terdapat para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kumpulan ini. Kaki Fathimah tidak beranjak dari tempatnya menyaksikan keberanian ayahnya berada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesankan oleh sebagian mereka kepada sebagian yang lain.

Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS Fush­shilat (41): 26.

Ketika Rasulullah mendatangi mereka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka dengan kalam Ilahi yang memukau, mereka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing  mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”

Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.

Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri mereka menjadi kosong dan dingin ketika tersentuh oleh arus keyakinan yang timbul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.

Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguhnya kekuatan keburukan itu, betapa pun sewenang-wenangnya ia dan betapa pun berkuasanya ia, tak akan dapat melawan kalimat-kalimat yang mengandung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.

Berita-berita tentang kejadian ini sampai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah mereka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.

Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musyrik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kembali.

Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayahnya, karena sangat rindunya. Ke­mudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera menemuinya. Mereka memeluknya dan mengalir air mata di pelupuk mereka karena perpisahan yang singkat namun lama. Walaupun singkat dalam masanya, lama dalam kerinduan dan penderitaannya.

Setelah itu tampak hakikat yang sebenarnya bahwa kaum Quraisy tetap berada dalam kekufurannya, penentangannya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun kembali ke Habasyah.

Ruqayyah kembali bersama suaminya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.

Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Dalam Perlindungan An-Najasyi

Kemudian orang-orang Quraisy berpikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Mereka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa keduanya untuk An-Najasyi.

Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Habasyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umaimah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan mereka dari tipu daya Amr dan sahabatnya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, mengharapkan kemurahannya agar berkenan membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlindung kepadanya.

Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami saudaranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat kekhawatiran yang tak diungkapkan oleh lisannya.

Namun Ummu Kultsum dapat menenangkannya dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu terhadap `Amr dan sahabatnya. Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Tidakkah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari mereka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan petunjuk dari-Nya yang disadari oleh hati-hati yang beriman? Se­sungguhnya mereka yang kafir itu seandainya tidak mau beriman mereka akan hina. Bukankah keadaan mereka ini merupakan petunjuk menyerahnya mereka dan kehinaan mereka? Sesungguhnya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalanNya.

Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan mereka dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong agamaNya. Dan mereka itu memang menginginkan pertolongan Allah dan ingin menyampaikan agamanya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Sikap Rasulullah yang diam juga menenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa nafsunya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan kebahagiaan; dan jika ada keburukan, wajahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam dirinya.

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyerahkan kepada setiap orang suatu hadiah, kemudian mereka menyampaikan hadiahnya kepada An-Najasyi. Mereka meminta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang meninggalkan agama mereka. Lalu terjadilah persaingan antara yang haq dan yang bathil, antara keimanan dan kekufuran, antara sumber-sumber kebaikan dan sumber-sumber keburukan. Kemudian menanglah kebaikan, iman, dan kebaikan, atas kebathilan, kekufuran, dan keburukan.

‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam perlindungannya dengan aman, dan bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengembalikan kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.

Fathimah yakin, kedua utusan itu telah kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari Tuhan sekalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang ber­iman.

Setiap kali awan semakin banyak

kilat menyambar

hujan akan turun

dan awal hujan itu adalah rintik-rintik

Jika kesulitan bertambah berat, akan datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang bercampur sampai kemudahan dapat mengalahkan kesulitan. Bagaimana pun beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemudahan akan dapat mengalahkannya.

Kapankah tepatnya Beliau tiba di Madinah?

Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah SAW singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian atau 24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00).Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin ‘Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal atau 27 September 622 M dan membangun masjid pertama; Masjid Quba. Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal atau 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah.

Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Bani Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi shalat Jum’at bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah shalat Jum’at yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Nabi SAW melanjutkan perjalanan menuju Madinah.Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal atau 28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal atau 5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal atau 24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriyah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).

RUJUKAN :

(*)Tarikh at-Thabari, I:571;

(*) Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22;

(*) Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98.

 

Postingan Lama Beranda