Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



https://videobloggeryoutube.blogspot.com/

Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

Di alam, orang utan dijumpai hidup pada habitat hutan hujan dataran rendah secara semi soliter dan arboreal, orang utan ditemukan banyak mengkonsumsi buah sebagai makanan utamanya. Saat ini populasi orangutan di habitatnya mengalami penurunan secara drastis dalam beberapa dekade terakhir dan belakangan ini penurunan populasi yang terjadi cenderung semakin cepat. Menurut Sumatran Orangutan Societies (SOS, 2010), Data terbaru menyebutkan bahwa sekarang hanya ada 6500 orangutan yang tersisa di Alam liar. Orangutan Sumatra telah masuk dalam klasifikasi Critically Endanger dalam daftar IUCN. Populasinya menurun drastis dimana pada tahun 1994 jumlahnya mencapai lebih dari 12.000, namun pada tahun 2003 menjadi sekitar 7.300 ekor. Data pada tahun 2008 melaporkan bahwa diperkirakan jumlah Orangutan Sumatra di alam liar hanya tinggal sekitar 6.500 ekoR

 

Orang utan (pongo pymakus) ialah satu – satunya spesies kera besar yang masih hidup di asia. Bukti fosil memberi petunjuk bahwa pada masa pleitosen orang utan tersebar relatif luas. Dapat dijumpai di seluruh asia tenggara, dari pulau jawa di ujung selatan sampai ujung utara pegunungan Himalaya dan cina bagian selatan.(goldikas, 1984:2).

 

Akan tetapi saat ini orang utan hanya ditemukan di Kalimantan dan di bagian utara Sumatra, populasi orang utan di kedua pulau tersebut terdiri dari dua spesies yaitu orang utan Sumatra (pongo pymacus abelii) dan orang utan Kalimantan (pongo pymacus pymacus) (Almoko dalam Indrawan et.al : 2007:235).

 

Penyebab utamaterjadinya penyempitan daerah sebaran adalah karna manusia dan orang utan menyukai tempat hidup yang sama,terutama dataran alluvial disekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas social ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi orangutan (soehartono et.al. 2007:1).

 

Penurunan populasi orangutan tersebut terjadi karena hutan yang menjadi habitatnya telah dirusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan untuk perkebunan, kebakaran dan perburuan. Kondisi yang sangat mengkwatirkan tersebut telah menempatkan orangutan sumatra ke dalam kategori kritis/sangat terancam punch (Critically endangered) di dalam daftar merah IUCN (2010), sebuah badan dunia yang memantau tingkat keterancaman jenis secara global. Di tingkat nasional, orangutan dilindungi keberadaannya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa liar.(Soehartono, et al., 2007:8)

 

Berbagai usaha penegakan hukum perlindungan orangutan dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan orangutan, salah satunya adalah dengan jalan menangkap para pemburu, penyelundup dan pemelihara ilegal orangutan, Berta menyita orangutan yang mereka miliki sejalan dengan usaha pemulihan kondisi populasi orangutan, karena diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi pelanggar hukum tersebut. Selain itu orangutan sitaan tersebut memiliki potensi untuk dilepas-liarkan kembali atau. Reintroduksi.

 

Dalam dua dekade terakhir ini usaha penyitaan orangutan tersebut selalu dilanjutkan dengan usaha rehabilitasi dan reintroduksi karena diharapkan nantinya orangutan-orangutan sitaan yang telah direhabilitasi dapat berkembang menjadi populasi baru, sehingga pada akhimya dapat membantu pemulihan populasinya, di alam. Khusus orangutan Sumatra, reintroduksi telah dilakukan mulai tahun 2002 sampai sekarang oleh Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Sumatran Orangutan (SCOP) dan Frankfurt Zoological Society (FZS).

 

Selain dengan program rehabilitasi dan reintroduksi orangutan, upaya pelestarian orangutan perlu dilakukan secara menyeluruh, termasuk dengan memberikan pendidikan mengenai orangutan bagi generasi muda khususnya siswa-siswa di Sekolah. Materi Pendidikan lingkungan, termasuk konservasi orangutan sangat baik jika diterapkan di Sekolah-Sekolah yang berdekatan langsung dengan habitat orangutan. Hal ini penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sejak dini melalui bangku Sekolah akan pelestarian orangutan, dan menurut Soehartono (2007:24) kesadaran ini akan membuat masyarakat menghentikan dan mengurangi pengrusakan habitat orangutan seperti pembalakan liar dan sekaligus melestarikan orangutan, Berta brewer (2010:577) konservasi orangutan membutuhkan lebih banyak partisifasi orang.

 

Sebelum melaksanakan program ini di Sekolah-Sekolah, perlu diketahui bagaimana persepsi dan pengetahuan siswa mengenai orangutan, untuk itu perlu diadakan penelitian mengenai mengenai persepsi dan pengetahuan siswa terhadap orangutan Sumatra, terutama di sekitar wilayah yang menjadi habitat orangutan.

 

1.2. Rumusan masalah

  1. Bagaimana, persepsi siswa-siswa disekitar TN Bukit tigapuluh terhadap orangutan sumatra
  2. Bagaimana pengetahuan siswa-siswa disekitar TN Bukit tigapuluh terhadap orangutan sumatra.
  3. 1.3. Tujuan Penelitian
  4. Untuk mengetahui persepsi siswa-siswa terhadap orangutan sumatra
  5. Untuk mengetahui pengetahuan siswa-siswa terhadap orangutan sumatra
  6. Untuk mengetahui perbedaan persepsi dan pengetahuan siswa-siswa terhadap orangutan sumatra
  7. 1.4. Kegunaan hasil penelitian
  8. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kazanah ilmu pengetahuan, wawasan yang di harapkan dapat bermanfaat dalam usaha pelestarian orang hutan
  9. Sebagai bahan masukan untuk memasukkan pendidikan konservasi kedalam kurikulum sekolah saat ini

 

1.5. Asumsi penelitian

 

Asumsi yang di ajukan dapam penelitian ini adalah bahwa siswa-siswa di sekitar taman  nasional bukit tigapuluh memiliki persepsi dan pengetahuan yang sangat bervariasi terhadap orangutan. Perbedaan pengetahuan dan persepsi tersebut berpengaruh terhadap pelestarian orangutan di taman anasional bukit tigapuluh

 

1.6 ruang lingkup dan keterbatasan penelitian

Ruang lingkup penelitian

  1. Penelitian difokuskan pada pengumpulan data yang berkaitan dengan persepsi dan pengetahuan siswa tentang orang utan.
  2. Penalitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer di lakukan dengan wawancara terstruktur dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sedangkan data skunder diperoleh dari studiliteratur serta sumber data lainnya mengenai orang utan.

 

1.7. Keterbatasan penelitian

  1. Responden dalam penelitian ini adalah siswa – siswa laki – laki dan perempuan kelas 2 SMA.
  2. Lokasi penelitian dilakukan di dua kabupaten, yaitu kabupaten tebo dan kabupeten tanjung jabung barat YANG TERDIRI DARI 4 SMA yang berada dalam kecamatan yang langsung berbatasan dengan TNTB. Kabupaten tebo terdiri dari 2 kecamatan yaitu sumai dan tebo ilir.sedangkan kabupaten tanjung jabung barat terdiri dari 2 kecamatan yaitu tungkal ulu dan kecamatan merlung.

 

1.8.. definisi operasional

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah kemampuan siswa untuk mengingat fakta, symbol atau informasi orang utan

  1. Persepsi pada penelitian ini ialah proses pemahaman siswa ataupun pemberian makana atas suatu informasi terkait orang utan
  2. Orang utan adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau cokelat, yang hidup di hutan tropika Indonesia dan Malaysia. Khususnya di pulau sumatera dan Kalimantan.
  3. Konservasi adalah berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, wring diter emahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).
  4. Pendidikan lingkungan adalah kekuatan dan pilar utama keberhasilan konservasi. Pendekatan pendidikan lingkungan kognitif (sadar), afektif (memahami) dan psikomotorik (perubahan perilaku) berdampak langsung pada upaya konservasi


 

1.    Tafsir Syi’i

Tafsir Syi’I / Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin al-Qur’an. Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin al-Qur’an bahkan dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya.

Ada beberapa hal yang menjadikan tafsir Syi’I lahir, diantaranya yaitu: Pertama, menurut Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.

Kedua, menurut para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.

Rosihon menyimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah. Lebih rigidnya, tafsir Syi’ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah (147 H). Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah.

Tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh kepentingan teologis untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama masalah imamah.

Salah satunya bisa kita lihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut Syaikh al-Thusi). Di kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Contohnya seperti ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah : 55

” Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) “

Al-Thusi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali bin Abi Thalib. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali bin Abi Thalib. Maka, ayat ini ditujukan kepada sahabat Ali. Sama halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak beda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat ini kepada Ali bin Abi Thalib.

Tokoh dan karyanya

Menurut Prof. Dr. Abubakar Aceh menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni. Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Abbas. Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama.

Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi  dalam bidang hukum, al-Kasai  tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi  menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H)menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir  menulis tentang majaz.

2.    Tafsir Isyari

Ada beberapa definisi diantaranya: Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”

Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).

Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu.

Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah. 

Diantara kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasawuf Praktis ini adalah:

1.Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H) Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.

2.Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi. Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.

3.Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani), Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.

 

Pendapat Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari

Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.

Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis).

Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”

Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari. 

Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :

Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.

Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.

Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.

Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”

3.    Tafsir Fiqhi

Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Quran (ayat-ayat ahkam).

Tafsir fiqhi muncul dimasa rasulullah, Para sahabat di masa Rasulullah memahami Quran dengan “naluri” kearaban mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada mereka.

Setelah Rasulullah wafat dan fuqaha sahabat mengendalikan umat dibawah kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin serta banyak terjadi persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Quran merupakan tempat kembali mereka untuk mengistimbatkan hukum-hukum syara’ bagi persoalan baru tersebut. Mereka pun sepakat bulat atas hal tersebut. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi (dalam lafadz), seperti perselisihan mereka mengenai ‘idah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘idah itu berakhir dengan melahirkan, dengan empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? Ini semua mengingat Allah berfirman:

“Dan mereka yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri, (hendaklah istri itu) ber’iddah empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234)

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘idah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka” (At-Thalaq: 4)

Keadaan demikian, sekalipun jarang terjadi merupakan awal permulaan perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum.

Ketika tiba masa empat imam fiqh dan setiap imam membuat dasar-dasar istimbat hukum masing-masing dalam mazhabnya serta bebagai peristiwa semakin banyak dan persoalan-persoalan pun menjadi bercabang-cabang; maka semakin bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya, bukan karena fanatisme terhadap suatu mazhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang pada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuk kepadanya

Keadaan tetap berjalan demikian sampai datanglah masa taklid dan fanatisme mazhab. Maka pada masa ini aktifitas para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan mazhab mereka sekalipun untuk ini mereka harus membawa ayat-ayat Quran kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya maka muncullah “tafsir fiqih” yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Quran. Di dalamnya fanatisme mazhab terkadang menjadi semakin memuncak dan terkadang pula mereda.

Karakteristik dari tafsir fiqhi adalah memfokuskan perhatian kepada aspek hukum fiqh. Karena itu para mufasir corak fiqhi akan selalu menafsirkan setiap ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan persoalan hukum Islam. Para mufasir akan panjang lebar menafsirkan ayat-ayat ahkam, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum Islam dalam Al-Qur’an. Terkadang mufasir hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu saja mengenai satu tema yang sama, maka dalam hal ini tafsir fiqhi secara metodik adalah tafsir maudhu’i.

Corak tafsir fiqhi terus berlangsung sampai masa kini. Diantara para mufassir dengan corak tafsir fiqhi dan kitab-kitab hasil karyanya yang terkenal adalah:

1.      Ahkam al-Qur’an,disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali al-Razi, al-Jasshash (303-370 H/917-980M), salah seorang ahli Fiqih dari kalangan madzhab Hanafi.

2.      Ahkam Al-Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasai (w. 450 H/1058 M), salah seorang Mufassirin berkebangsaan Khurasan.

3.      Ahkam al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakankarya momumental Abi Bakar Muhammad bin Abdillah, yang lazim popular dengan sebutan Ibnul ‘Arabi (468-543 H/1075-1148 M)

4.      Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa a-Mubayyin lima tadzammanahu minal-as Sunnah wa ayi al-Qur’an (himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penhjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an), pengarangnya adalah abi Abdillah Muhammad al-Qurthubi (W. 671 H./1272 M).

5.      Tafsir An Nasafi ( Tafsir Nasafi ) karya An Nasafi ( madzhab Hanbali )

6.      Al Jaami’ li ahkam alqur’an ( Himpunan hukum-hukum alqur’an) karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al Qurthubi ( madzhab Maliki )

7.      Tafsir Al Kaabir atau Mafaatih al Ghaib ( Kunci Kegaiban ) karya Fakhruddin al Razi ( madzhab Syafi’i ).

Contoh tafsir fiqhi

“Wahai orang-orang yang beriman,apabila kamu hedak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu…”(Al-Maidah:6)

Firman-Nya; “faghsilu” (artinya basuhlah). Asy-Syafi’i mengira (kata sahabatnya yang bernama Ma’d bin Adnan di dalam fashahah, juga Abu Hanifah yang lainya bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang di basuh tanpa menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan lemahnya pendapat ini dalam masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat An-Nisa. Menurut kami, “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.

 

BAB III

PENUTUP

A.  Simpulan

Tafsir Syi’I / Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin al-Qur’an. Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin al-Qur’an bahkan dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya. muncul pertama kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul sebelum Ja’far meninggal.

Adapun Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.” Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.

Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Quran (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi muncul dimasa rasulullah, Para sahabat di masa Rasulullah memahami Quran dengan “naluri” kearaban mereka.

 

B.  Penutup

Alhamdulillah, atas karunia-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini, meskipun terdapat banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Dan makalah ini tentunya sangatlah jauh dari kesempurnaan yang pastinya terdapat banyak kekurangan atau bahkan terdapat kesalahan. Namun, meskipun begitu kami tetap berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.  


DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan al-‘Aridl. Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)

M. Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987)

Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor: Litera Antar Nusa, 1996)

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)

Yunus Hasan. Tafsir Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)

BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Pengertian Fiqh Mawaris

Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.  Kataمواريث   adalah jama' dari   ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari  ورث - يرث- ارثا - وميراثا .

Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:  al-baqa'  (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال)  "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.

Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.

Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.

Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.

Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1.    Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2.    Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3.    Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).

B.    Kedudukan dan Urgensinya

Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.

Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.

 Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.

Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)

C.    Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah

Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .

Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )

Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”

Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.

Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.

D.    Penentuan Ahli Waris

Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1.    Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2.    Adanya janji prasetia( muhalafah)
3.    Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1.    Sudah dewasa
2.    Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka.
Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1.    Anak laki-laki
2.    Saudara laki-laki
3.    Paman
4.    Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Pengangkatan Anak
Seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri .


E.    Hukum Waris Masa Awal Islam

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

F.    Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris

Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1.    Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2.    Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3.    Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4.    Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5.    Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fiqh mawaris adalah ilmu yang membahas dan mengatur harta orang yang sudah meninggal dengan tatacaranya. Fiqih mawaris adalah istilah yang kutang popular dikalangan ulama, para ulama mengunakan istilah faraid. Dapat disimpulkan bahwa suatu proses meneruskan serta mengoperkan harta benda keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah dimulai ketika orang tua masih hidup. Dari satu generasi (orang tua) kepada turunannya, oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak turunnya pewaris, Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut dengan   meninggalnya salah satu orang tua, artinya ketika orang tua meningal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.

B.    Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kelemahanya, karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau refrensi yang ada hubunganya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penullis khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

C.    Penutup
Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidak sempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
DAFTAR PUSRAKA

Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.Az-zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.

BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya, setiap ciri khas dari suatu ilmu tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, kecuali jika definisi ilmu yang bersangkutan diketahui lebih dahulu. Karena ketidaktahuan terhadap sisi tertentu dari suatu ilmu, tidak mungkin seseorang akan termotivasi untuk menuntutnya. Ciri khas suatu ilmu juga dapat dilihat dari objek kajian dan tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut juga akan menjadi sia-sia.

Kemudian dalam pembahasan kali ini adalah sebuah kajian yang menjawab berbagai hal yang berhubungan dengan harta warisan atau pembagian harta dan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkannya. Karena sering kali polemik ini selalu berkelanjutan tidak ada ujungnya sampai-sampai bisa melaju ke meja hijau dalam pembagian harta Gono-gininya. Tak jarang hal ini juga yang menyebabkan pembunuhan antara msing-masing saudara untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa:
“Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagianbagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”

Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.

Pada dasarnya arti-arti diatas sangat luas sehingga dalam tulisan ini, makna kata yang cocok adalah ketetapan yang pasti, yang tercantum pada surah An-Nisa, 4: 11:
فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما (النساء : 11)

Kata (فريضة) berakar dari kata faradha yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah. Kemudian karena kata faraidh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan.

Saham-saham yang tidak dapat diubah adalah angka pecahan 1/2 , 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 yang terdapat dalam surah An-Nisa, 4:11, 12 dan 176.
Dengan singkat Ilmu Faraidh dapat di definisikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab Ilmu Mawarits, tidak lain adalah nama lain dari Ilmu Faraidh.

Adapun kata al-mawarits, adalah jama` dari kata mirots. Dan yang dimaksud dengan almirotsu, demikian pula alirtsu, wirtsi, wirotsah dan turots, yang diartikan dengan al-murutsu, adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan al-muwaritsu sedang ahli waris disebut dengan al-waritsu.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARAIDH/ ILMU MAWARIS
Tata aturan pembagian harta puaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.

Kemudin, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hakyang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya. Demikian di awal Islam ini masih berlaku.

Ketika Nabi Muhammad SAW. Hijrah demikian pula sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh Nabi dijadikan sebab pusaka-mempusakai antara mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Muhajirin meninggal di Madinah dan bersamanya ikut walinya (ahli wais), harta pusakanya akan diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah itu. Sedang walinya yang ikut hijrah, tidak berhak mempusakai hartanya tersebut. Dan apabila seorang Muhajir yang pindah itu meninggal dan tidak mempunyai wali, harta pusakanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari Anshor yang menjadi ahli waris karena telah menjadi saudara itu. Tentu saja waris dari persaudaraan yang demikian itu, hanya apabila lelaki dan tentu saja sudah dewasa.

Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam, pengangkatan anak itu tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Tidak, Ia tetap sebagai anak lain.

Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran:
وما جعل ادعياءكم ابناءكم ذلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل (4) ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم فى الدين ومواليكمز. (الاحزب : 4-5).
Artinya : “Dan tidaklah Allah menjadikan anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengucapkan yang benar, dan Ia menunjukan jalan yang benar. Dan panggilah anak-anak itu menurut nama bapak-bapak mereka sendiri. Itulah yang adil di sisi Allah. Apabila kamu sekalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah sebagai panggilan saudaramu dalam agama dan maula-maulamu…(Al-Ahzab 4-5).

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

Oleh karena itu, dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal-awal Islam, selain meneruskan beberapa nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai berikut:
a. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
b. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
c. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
d. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
e. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.

C. HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. (رواه ابن ماجه والدارقطنى)
Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.

Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:

“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).

Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.

Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.

Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertamakali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
BAB III
PENUTUP

Semoga dengan pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).
Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Rofiq, Ahmad, Dr., MA., Fiqih Mawaris Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
2. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004.
3. Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta : PT. Raja grafindo Persada, 1995.
4. Daradjat, Zakiah, Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid III.
5. Lubis, Suhrawardi K., S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.
 http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/



BAB II
AL-QUR’AN
1.    Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan sumber hukum  utama Islam dan pedoman hidup kaum muslim. Al-Qur’an bukan hanya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengajarkan tentang hubungan manusia terhadap sesama manusia dan juga alam.
Pengertian Al-Qur’an sangat luas, antara lain :
a.    Secara Etimologi
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Al-Qur’an secara etimologi, antara lain yaitu :
1)    Kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk masdar dari kata “Qara’a” yang artinya “bacaan”.
2)    Kata “Al-Qur’an” merupakan kata sifat dari “Al-Qar’u” yang bermakna “Al-jam’u” yang artinya “kumpulan”.
3)    Kata Al-Qur’an merupakan Isim Alam bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan sebagai nama kitab suci umat Islam.
b.    Secara Terminologi
Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya Al-Madkhal li dirasah al-Qur’an al-karim mengatakan bahwa
“Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.”


2.    Hakikat Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat agung. Dia merupakan penyempurna dari beberapa kitab. Namun pada hakikatnya Al-Qur’an bukanlah tulisan ataupun bacaan yang termuat dalam 30 juz Al-Qur’an 114 surat 6666 ayat, melainkan pada makna yang tersirat atau terkandung didalamnya. Adapun tulisan atau bacaan yang termuat di dalam kitab itu tidak ada bedanya dengan buku-buku bacaan biasa. Jadi jika manusia beriman kepada tulisan atau bacaannya sama halnya dengan beriman kepada hal yang fana.

3.    Nama - Nama Al-Qur’an
Al-Quran merupakan Kalam Allah yang mengandung ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibrail untuk disampaikan kepada semua manusia. Al-Qur’an merupakan mukjizat yang paling agung yang telah mendapat jaminan dari Allah SWT akan kekal terpelihara. Dan juga terdapat beberapa nama-nama  Al-Qur’an yang telah disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Nama-nama itu mempunyai ciri-ciri dan kriteria Al-Qur’an itu sendiri.
Nama-nama lain Al-Qur’an sangat banyak, antara lain yaitu :
1.    Al Kitab ( Kitabullah )
Yang merupakan sinonim dari kata Al-Qur’an artinya, kitab suci sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Perkataan Kitab di dalam bahasa Arab dengan baris tanwin di akhirnya ( Kitabun ) memberikan makna umum yaitu sebuah kitab yang tidak tertentu. Apabila ditambah dengan alif dan lam di depannya menjadi (Al Kitab) ia telah berubah menjadi suatu yang khusus (kata nama tertentu). Dalam hubungan ini, nama lain bagi Al-Qur’an itu disebut oleh Allah adalah Al-Kitab. Nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2.

Artinya :
Kitab ( al-Quran ) ini tidak ada keraguan padanya, ( menjadi ) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
2.    Az-Zikr ( Peringatan )
Allah SWT menyebutkan  Al-Qur’an sebagai Az-zikr (Peringatan) karena sebetulnya Al-Qur’an itu senantiasa memberikan peringatan kepada manusia karena sifat lupa yang tidak pernah lepas dari manusia. Manusia mudah lupa dalam berbagai hal, baik dalam hubungan dengan Allah, hubungan sesama manusia maupun lupa terhadap tuntunan-tuntunan yang sepatutnya ditunaikan oleh manusia. Oleh karena  itu golongan yang beriman dituntut agar senantiasa mendampingi Al-Qur’an. Selain sebagai ibadah, Al-Qur’an itu sentiasa memperingatkan kita kepada tanggung jawab kita. Nama ini di terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9

Artinya :
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan az-zikr ( Al-Quran ) dan Kamilah yang akan menjaganya ( Al-Quran ).
3.    Al-Furqan ( Pembeda )
 Allah SWT memberi nama lain bagi Al-Qur’an dengan Al-Furqan berarti Al-Qur’an sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Mengenali Al-Qur’an maka kesannya sewajarnya dapat mengenal Al-Haq dan dapat membedakannya dengan kebatilan. Nama ini diterangkan dalam Surat Al-Furqan ayat 1

Artinya :
 Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hambaNya (Muhammad)
4.    Al-Mauidhah ( Nasihat )
 Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah adalah untuk kegunaan dan keperluan manusia, karena manusia senantiasa memerlukan peringatan dan pelajaran yang akan membawa mereka kembali kepada tujuan penciptaan yang sebenarnya. Tanpa bahan - bahan pengajaran dan peringatan itu, manusia akan terlalai dan lupa dari tugasnya karena manusia sering didorong oleh nafsu dan dihasut oleh syaitan dari mengingat dan mentaati perintah Allah. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al Qamar ayat 22.

Artinya :
Dan sungguh Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? ( daripada Al-Quran ini ).

5.    Asy-Syifa’ ( Penawar )
Allah SWT telah mensifatkan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada umat manusia melalui perantara Nabi Muhammad SAW sebagai penawar dan penyembuh. Bila disebut penawar tentu ada kaitannya dengan penyakit. Dalam Tafsir Ibnu Katshir dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah penyembuh dari penyakit-penyakit yang ada dalam hati manusia seperti syirik, sombong, ragu dan sebagainya. Dalam hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57.

Artinya :
Wahai manusia! Sungguh, telah Kami datangkan kepadamu pelajaran (Al-Quran) dari Tuhanmu, penawar bagi penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.
6.    Al-Haq ( Benar )
 Al-Qur’an dinamakan dengan Al-Haq karena dari awal hingga akhirnya, kandungan Al-Qur’an adalah semuanya benar. Kebenaran ini adalah datang daripada Allah yang mencipta manusia dan mangatur sistem hidup manusia dan Dia Maha mengetahui segala-galanya. Oleh karena  itu, ukuran dan pandangan dari Al-Qur’an adalah sesuatu yang sebenarnya mesti diikuti dan dijadikan prioritas yang paling utama dalam mempertimbangkan sesuatu.

Artinya :
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
7.    Ar-Ruh ( Roh )
 Allah SWT telah menamakan wahyu yang diturunkan kepada Rasulnya sebagai roh. Sifat roh adalah menghidupkan sesuatu. Seperti jasad manusia tanpa roh akan mati, busuk dan tidak berguna. Dalam hubungan ini, menurut ulama, Al-Qur’an mampu menghidupkan hati-hati yang mati sehingga dekat dengan Penciptanya.

Artinya :
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) Ruuh (Al-Quran) dengan perintah Kami, … (asy-Syu’ara: 52)
8.    Al-Busyraa ( Berita Gembira )
Al-Quran sering menceritakan khabar gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah dan menjalani hidup menurut kehendak dan jalan yang telah diatur oleh Al-Qur’an. Khabar-khabar ini menyampaikan pengakhiran yang baik dan balasan yang menggembirakan bagi orang-orang yang patuh dengan isi Al-Qur’an. Terlalu banyak janji-janji gembira yang pasti dari Allah untuk mereka yang beriman dengan ayat-ayat-Nya. Hal ini telah dikemukakan dalam Al Qur’an Surat An Nahl ayat 89

Artinya :
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim). (an-Nahl: 89)
9.    Al-Bayaan (Keterangan)
Al-Quran adalah kitab yang menyatakan keterangan dan penjelasan kepada manusia tentang apa yang baik dan buruk untuk mereka. Menjelaskan antara yang haq dan yang batil, yang benar dan yang palsu, jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Selain itu Al-Qur’an juga menerangkan kisah-kisah umat terdahulu yang pernah mengingkari perintah Allah lalu ditimpakan dengan berbagai azab yang tidak terduga.

Inilah (Al-Quran) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk kepada seta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (ali-Imran: 138 )
10.    Ar-Rahmah (Rahmat)
Allah menamakan Al-Qur’an dengan rahmat karena dengan Al-Qur’an ini akan melahirkan iman dan hikmah. Bagi manusia yang beriman dan berpegang kepada Al-Qur’an ini mereka akan mencari kebaikan dan cenderung kepada kebaikan tersebut.

Artinya :
Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar serta rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang zalim (Al-Quran itu) hanya akan menambah kerugian. (al-Isra: 82)

4.    Al-Qur’an Sebagai Sumber Asasi Multi Dimensi
Mengapa Al-Qur’an bisa dikatakan sebagai sumber asasi multi dimensi ? Al-Qur’an dikatakan sebagai sumber yang multi dimensi karena  Al-Qur’an tidak hanya membenarkan akan tauhid, dan menjelaskan hubungan manusia kepada Allah saja, tetapi didalamnya memuat semua rahasia yang ada di alam ini. Al-Qur’an bukan hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan pada periode tertentu, tetapi Al-Qur’an adalah petunjuk yang universal dan sepanjang waktu.
Di dalam Al-Qur’an tidak hanya menggali ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tafsir, fiqih dan tauhid, akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu telah di isyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui ayat-ayatnya. Dan semua rahasia itu bisa kita kaji  jika kita mau memahami dan mendalaminya. Misalnya dalam surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5. Dalam ayat itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa jika kita ingin mencari suatu ilmu, mulailah dengan membaca. Lalu setelah membaca barulah menulis dengan menggunakan pena. Menurut prof. Dr. H. Said Agil Husain Al Munawar, M.A. mengatakan bahwa
“kata  “qalam” dalam surat ini berarti pena yang biasa menjadi ilmu pengetahuan”.
Keistimewaan Al-Qur’an bukan hanya itu saja, masih banyak lagi keistimewaan yang dimiliki oleh Al-Qur’an. Diantaranya Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai petunjuk, penerang jalan hidup, pembeda antara yang hak dan yang batil, penyembuh penyakit hati, nasihat atau petuah, sumber informasi, dan lain-lain. Semua itu sudah cukup memberi bukti kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah tiada tandingannya. Didalamnya terdapat semua ilmu. Didalamnya terdapat semua rahasia. Wajar jika Al-Qur’an dijadikan sumber hukum. Karena Al-Qur’an memang sumber yang multi dimensi.

5.    Bahasa Arab
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril dengan meminjam bahasa manusia. Disini Allah menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Mengapa harus Bahasa Arab ? Tentu jawabannya sangat beragam. Antara lain, yaitu :
a)    Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab karena Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bahasa kesehariannya adalah Bahasa Arab. Dan masyarakat disekitarnya pun berbahasa Arab. Jadi untuk mempermudah penyampaian wahyu tersebut maka Allah menurunkannya dalam Bahasa Arab. Dan ini telah tersirat dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 4 :

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡ‌ۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ (٤)
Artinya :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” .

b)    Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab agar manusia pada zaman itu dapat dengan mudah memahaminya. Seperti tersirat dalam surat Az-Zuhruf ayat 3 :
إِنَّا جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَٲنًا عَرَبِيًّ۬ا لَّعَلَّڪُمۡ تَعۡقِلُونَ (٣)
Artinya :
“Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.”

c)    Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab agar orang-orang Arab saat itu yakin dengan petunjuk - petunjuk yang tersirat dalam Al-Qur’an, sebagaimana tersirat dalam surat Fussilat ayat 44 :

وَلَوۡ جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَانًا أَعۡجَمِيًّ۬ا لَّقَالُواْ لَوۡلَا فُصِّلَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥۤ‌ۖ ءَا۠عۡجَمِىٌّ۬ وَعَرَبِىٌّ۬‌ۗ قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدً۬ى وَشِفَآءٌ۬‌ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٌ۬ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًى‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۭ بَعِيدٍ۬ (٤٤)
Artinya
“Dan sekiranya Al-Qur’an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul) adalah orang Arab? Katakanlah: "Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan(Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka.Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh."







BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Dari beberapa keterangan  yang telah ada dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril. Tetapi hakikat Al-Qur’an bukanlah tulisan atau bacaannya yang termuat dalam 30 juz Al-Qur’an 114 surat 6666 ayat, tetapi hakikat Al-Qur’an adalah makna yang tersirat didalamnya.Nama-nama Al-Qur’an sangat banyak, antara lain yaitu Al-Kitab, As-sifa, Ar-Ruh, dan lain sebagainya.
Al-Qur’an dikatakan sebagai sumber yang multi dimensi, karena Al-Qur’an tidak hanya menerangkan tentang hubungan manusia dengan Allah tetapi juga tentang hubungan manusia kepada sesama. Al-Qur’an juga merupakan sumber semua ilmu. Dan Al-Qur’an juga memiliki berbagai keistimewaan antara lain dapat dijadikan obat.
Al-Qur’an ini diturunkan dengan menggunakan Bahasa Arab, karena Allah ingin mempermudah manusia untuk memahaminya.

2.    Saran
Salah satu rukun iman adalah iman kepada kitab-kitab Allah.Dan Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang paling agung. Yang di dalamnya tersimpan berbagai rahasia. Oleh karena itu kita harus belajar, belajar dan terus belajar agar dapat mengetahui semua rahasia yang ada di dalamnya. Dengan terselesaikannya penyususnan makalah ini penulis berharap pembaca semakin yakin dengan adanya Al-Qur’an yang agung. Penulis berharap makalah ini bisa berguna bagi penulis dan pembaca. Namun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu penulis meminta saran dan kritik yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al Munawar, M.A, prof. Dr. H. said agil Husain. Aktualisasi nilai-nilai Qur’an.Jakarta : Ciputat Perss

Al Munawar, M.A, prof. Dr. H. said agil Husain. Al-Qur’an.Jakarta : Ciputat perss. 2005

Departemen Negara RI. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia.Jakarta : Menara Kudus. 2005

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya

Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syari’at islam. Diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syari’at islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman tua. Demikian juga halnya dengan syari’at islam dalam perkembangan dan perjalananya. Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka yang menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syari’at islam. Sebagian mengatakan 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh.

Pendapat yang lebih tepat dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada 4 fase sebagai berikut :
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw, sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunandan kedatangan wahyu.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad IV H.
3.    Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad IV sampai abad XII H.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad XII sampai sekarang.

Namun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam secara singkat dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu :
1)    Periode pertama, Masa Nabi Muhammad saw
2)    Periode kedua, Masa Khulafa al-Rasyidin
3)    Periode ketiga, Masa Perkembangan dan Pembukuan
4)    Periode keempat, Masa Kemunduran
5)    Periode kelima, Masa Pembaharuan dan Kebangkitan.

B. Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syari’at Islam
Tasyri’ Pada Masa Kerasulan atau masa hidup Raasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syari’at islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1.    Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqh islam pada masa ini
2.    Setiap syari’at (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam mengistinbat (mengeluarkan) hukum syar’i.
3.    Periode-periode setelah era kerasulan tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syari’at islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.
Periode ini berlangsung pada masa 610-632 M ( Tahun 1-10 H ) yaitu selama hidup Rasulullah saw.

Pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam langsung diselesaikan oleh Nabi, baik melalui wahyu yang diterimanya dari Allah swt, maupun melalui sunahnya yang selalu dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu. Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Ijtihad sahabat yang terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah, yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari Nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.
Contohnya adalah firman Allah swt,
Artinya : Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

Contoh lain adalah:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

C. Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 H sampai dengan akhir abad 14 H. Oleh karena itu, pada masa ini di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu :
1.    Masa Khulafa al Rasyidin
2.    Masa Dinasti Umayah
3.    Masa Dinasti ‘Abbasiyah
A.    Tasyri’ Pada Masa Khulafa al Rasyidin
Periode ini berlangsung pada masa Khulafa al Rasyidin ( 632-662 M / 11-41 H ), yaitu pada masa :
  1. Abu Bakar Shidiq ( 632-634 M / 11-13 H )
  2. Umar bin Khatab ( 634-644 M / 13-23 H )
  3. Utsman bin Affan ( 644-656 M / 23-35 H )
  4. Ali bin Abi Thalib ( 656-662 M / 35-41 H )
Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat. Baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga jelas bahwa sumber pensyari’atan pada masa sahabat adalah:
1.    Al-Qur’an
2.    As-Sunnah
3.    Ijma
4.    Ra’yi ( Logika )
Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut :
1.    Meneliti dalam kitab Allah swt untuk mengetahui hukumnya
2.    Meneliti dalam Sunnah Rasulullah saw, jika tidak ada nash dalam al-Qur’an.
3.    Ijma’ ( konsensus bersama ), yaitu jika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul atau ditemukan namun bersifat global atau nashnya banyak dan setiap nashnya memberi hukum yang berbeda atau berupa khabar ahad.

4.    Ra’yi yaitu mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash al-Qur’an atau sunnah atau dalil ‘aqli berupa qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
Penggunaan istilah ra’yi tidak populer bagi semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang yang mengenal istiah ini seperti para Khulafa al Rasyidin, ‘Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit.
Contohnya adalah pada pemahaman ayat al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. ( QS. Al-Baqarah : 228 )
Kata tersebut adalah bentuk jamak dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan haidh dan bisa pula diartikan suci.
B.    Tasyri’ Pada Masa Dinasti Umayyah
Periode ini di mulai ketika para Khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 H, dan berakhir pada awal abad II H sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 H. Zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh, dan pergolakan politik. Karena sejak zaman awal berdirinya dinasti ini, kaum muslimin terpecah kedalam tiga golongan, yaitu :

a)    Syi’ah, yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Khalifah hanya untuk Ali dan keturunannya, sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan Nabi dan bukan dengan cara ba’iat.

b)    Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim ( perdamaian ) pada zaman Khalifah Mu’awiyyah, lalu mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyyah, mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tida harus suku Quraisy atau keturunan arab.

c)    Jumhur Kaum Muslimin, yaitu kaum modert yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih leh kaum muslimin dengan cara ba’iat.
Namun pada masa Dinasti Umayyah terjadi peningkatan kreativitas fiqh, hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu :
•    Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
•    Meluasnya periwayatan hadits
•    Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqh dan ilmu syari’at
•    Munculnya beberapa aliran fiqh.
Masa Dinasti Umayyah mempunyai karakteristik fiqh tersendiri, yaitu :

a.    Munculnya beberapa manhaj ( metode ) kajian fiqh yang bersih dari pertikaian politik, terutama madrasah ahli hadits dan ahli ra’yi

b.    Sinergitas antara para hamba sahaya dengan orang arab dalam memegang kepemimpinan kedua madrasah ini diberbagai negeri Islam

c.    Perhatian terhadap Sunnah dengan ciri – ciri meluasnya periwayatan hadits, mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat, pembukuan sunnah, dan membendung arus pemalsuan hadits dan membongkar segala makar mereka

d.    Munculnya fiqh Iftiradhiy ( andaian ) yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi
e.    Banyaknya perbedaan dalam masalah furu’ fiqh

C.    Tasyri’ Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha, selain munculnya para ulama yang membahas setiap bab, memiliki mazhab ijtihad sendiri yang kemudian di beri nama sesuai nama para imamnya.

a.    Faktor yang menyebabkan kemajuan fiqh islam pada masa ini adalah :
2.    Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah terhadap fiqh dan fuqaha
3.    Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan pendidikan Islam
4.    Iklim kebebasan berpendapat,
5.    Maraknya diskusi dan debat ilmiah diantara para fuqaha
6.    Banyaknya permasalahan baru yang muncul
7.    Akulturasi budaya dengan bangsa – bangsa lain
8.    Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab.

Pada masa Dinasti Abbasiyyah inilah sebagai pondasi peletakan ilmu ushul fiqh, seperti karya Imam Asy – Safi’i yaitu kitab Ar – Risalah sebagai kitab ushul fiqh pertama dalam Islam.
D.    Fase Taqlid dan Kejumudan
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali, dan lain-lain. Adapun faktor penyebab taqlid adalah :
1.    Pembukuan kitab madzhab
2.    Fanatisme madzhab
3.    Jabatan hakim
4.    Ditutupnya pintu ijtihad
E. Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh

Fase ini dimulai dari akhir abad XIII H / 19 Msampai pada hari ini. Angin pembaharuan ini sebenarnya telah berhembus sejak awal abad XIV M, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
•    Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 ).
•    Ibn Qoyyim al-Zaujiyah ( 1292-1356 ).
•    Muhammad Ibn Abdul  Wahab ( 1703-1787 ).
•    Jamaluddin al-Afghani ( 1839-1897 ).
•    Muhammad Abduh ( 1849-1905 ).
•    Rasyid Ridla ( 1865-1935 ).

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.
1.     Pembahasan Fiqh Islam
a.    Indikasi kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dilihat dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :

b.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzhab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus anatara satu madzhab dengan madzhab lainnya.

c.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik, karena pembahasan fiqh pada masa yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh simbol dan rumus yang memerlukan waktu banyak untuk memahaminya.

d.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi, sehingga memunculkan teori-teori umum dalam fiqh islam dan mengasilkan teori baru seperti teori aqad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proporsional.

e.    Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Seperti contoh didirikannya Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar pada tahun 1961 M di Mesir oleh para ulama besar dari semua negeri islam yang terpercaya keilmuannya.

2.    Kodifikasi Fiqh
Kodifikasi ( taqnin ) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dengan bentuk butiran bernomor. Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan, yaitu :
pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang – undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada babbab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

Sebenarnya upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang sudah muncul pada awal abad II H ketika Ibnu Muqaffa menulis surat kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Namun usulan ini tidak mendapat sambutan, karena para fuqaha enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri sudah memberikan peringatan untuk menjauhi fanatisme madzhab.

Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al -‘Adliyah ( Semacam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) pada masa Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan imperium untuk mengacukan seluruh Undang-Undang sipil yang berlaku bagi umat Islam dibawah pemerintahannya pada madzhab Imam Abu Hanifah sebagai madzhab resmi negara.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sebagian ulama ada yang mengatakan perkembangan melalui 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh. Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan 4 fase dengan tahapan
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan.
3.    Fase kejumudan dan taqlid.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran.
Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu : Masa Khulafa al Rasyidin, Masa Dinasti Umayah, Masa Dinasti ‘Abbasiyah
Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh, Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.

B.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan, pastinya banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam presentasi, kiranya pembaca khususnya mema’afkan dan melengkapi kekurangan dalam makalah ini kemudian menjadi lebih sempurna karena-Nya. Adapun hal ini kritik dan saran sangat kami tunggu dari pembaca yang budiman.


DAFTAR PUSTAKA
Khali, Rasyad Hasan l, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ).
Usman, Suparman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )

Postingan Lama Beranda