Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
“KEADILAN SUBSTANTIF”

A.    Pengertian Keadilan Substantif

Keadilan substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th Edition dimaknai sebagai : Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights. (Black’s Law Dictionary, 7th Edition, p. 869) [“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat”]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan kegiatannya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.

B.    Mahkamah Konstitusi Dan Keadilan Substantif

MK dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.

Pilihan paradigmatik ini didasari pada keyakinan bahwa dalam posisinya sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan substansial, sebab, selain hal ini dibenarkan oleh UUD 1945 juga dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.

Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex aequo et bono (putusan adil).

Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dengan kata lain, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).

Yang hendak ditekankan adalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan.


Selain itu, pilihan paradigmatik pada keadilan substantif juga dilatarbelakangi derasnya tuntutan agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang memberikan solusi hikum atas ketidak pastian yang diakibatkan oleh ketentuan yang multitafsir atau pada saat terjadi kekosongan hokum. Demikian pula halnya dalam perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan substantif dan bukan sekedar pengadilan perselisihan penghitungan atau yang sering disebut sebagai pengadilan kalkulator.

Pergerakan atau pergeseran tersebut terjadi bukan karena kehendak para hakim konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, tetapi semata-mata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan substantif. Hasil pemilu adalah manifestasi suara rakyat. Oleh karenanya, untuk menjamin hal itu harus dipastikan bahwa hasil pemilu harus didapatkan dengan cara yang benar, jujur, dan adil, serta dihitung dengan benar pula sesuai dengan prinsip one man, one vote, one value.

Mahkamah Konstitusi berpedoman pula pada paradigma keadilan substantif. Dengan penekanan pada keadilan substantif dimaksudkan bahwa meskipun suatu perbuatan secara formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi tidak melanggar substansi keadilan dan kesalahan tersebut bersifat tolerable, maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapapun jika suatu ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai berkali-kali tentuklah dapat dikatakan intolerable dan mengandung ketidakadilan. Sikap mahkamah yang demikian didasarkan pula pada tujuan untuk memberi manfaat kepada Negara dan masyarakat.

Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi atas penegakkan keadilan substantif bukan berarti mahkamah harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Dalam mengimplementasikan paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat keluar atau mengabaikan bunyi undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau keluar dari bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang memberi rasa keadilan, maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar dalam pengambilan putusan; sebaliknya jika penerapan bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri. Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

C.    Problematika Penegakan Hukum Substantif

Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan substantif sebagaimana keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi itu lebih adiluhung (bahasa Jawa) atau malebbi (bahasa Bugis) daripada yang terkandung dalam keadilan prosedural, namun upaya mewujudkan keadilan substantif lazim berbenturan dengan problematika kepastian hukum (equality).

Contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada daerah tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU Mahkamah Konstitusi sendiri.

Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan hukum”, (Jawa Pos, 3/12/2008).

Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan hukum bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk mengubahnya. Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak ada lembaga lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak kepastian hukum.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan

Dapat kita simpulkan dari makalah diatas, bahwa keadilan substantive adalah Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat. Jadi dengan kata lain keadilan substantive meruapakan keadilan yang tidak diatur dalam aturan undang-undang tetapi melainkan dengan melihat substansi kasus yang terjadi meskipun tidak ditulisakn dalam undang-undang

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.

B.    Saran dan Kritik

Akhirnya makalah ini sampai pada penutup dan terkhir yang ingin penulis sampaikan dari makalah ini bahwa penulis menyadari makalah kami masih sangatlah jauh dari kriteria makalah yang baik dan benar, dari itu kami tidak bosannya sangatlah mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna evaluasi pada makalah kami berikutnya. Dan semoga terselesainya makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua terlebih bagi yang memanfaatkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Darji Darmodiharjo, SH. Sidarta, SH, MHum, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2004
http://keadilansubstantif.blogspot.com

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda