Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai petunjuk dan penjelas bagi persoalan kehidupan manusia telah disempurnakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan Al-Qur’an merupakan bentuk kekuasaan Allah SWT yang tersirat dalam kalam-Nya melalui makna-makna rinci tetapi sangat simple. Di sisi lain, Al-Qur’an sering kali meninggalkan lafal yang menyempurnakan kalimat itu sendiri yang bermaksud hanya menjelaskan secara garis besar atau ada kaitannya dengan ilmu lain.
Sedangkan di lain waktu, Al-Qur’an juga mengandung berbagai kata dengan makna ganda, kiasan, serta kata-kata lain yang kadang tidak dipahami oleh para sahabat, yang tentunya kesustraan mereka tidak diragukan lagi.
Seiring dengan wafatnya Rasulullah SAW, ayat-ayat Al-Qur’an sebagai sumber dari segala hukum manusia, tidak bertambah lagi. Kemudian untuk menjawab problematika umat ini, kemana lagi mereka harus mencari jawaban hukum atas permasalahan baru yang terjadi, padahal Al-Qur’an telah disenpunakan. Dari sinilah, manusia membutuhkan tafsir dan darisini pula orang-orang yang dibei taufik dan hidayah Allah SWT untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Karena itu, hal yang penting dalam memahami bagaimana cara seorang mufassir menafsirkan Al-Qur’an dengan baik dan juga mempelajari aspek-aspek yang diperlukan seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan menerapkan dan mempelajari syarat-syarat, ilmuilmu yang harus dikuasai oleh mufassir karena apa yang dilakukannya nanti dalam menafsirkan kitab suci Alah dapat diterima kebenaran/keshohihan tafsir tersebut. Karena mempelajari ilmu untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak boleh sembarangan. Agar tidak menyeleweng atau menyimpang dari isi kandungan Al-Qur’an yang sebenarnya.
B.    Rumusan Masalah
1)    Mengapa seorang mufassir harus mempelajari syarat-syarat serta adab penafsiran Al-Qur’an ?
2)    Apa saja ilmu-ilmu yang harus dipelajari dan dibutuhkan para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an ?
C.    Tujuan Makalah
1)    Mampu mempelajari syarat-syarat seorang mufassir.
2)    Memngetahui ilmu-ilmu yang harus dipelajari seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syarat-Syarat Mufassir
Seorang penafsir Al-Qur’an berhadapan dengan tugas ilmiah yang sangat berat, karena materi yang ia tafsirkan adalah Kalaamullah, bukan kata-kata atau hasil karya manusia. Oleh karena itu, para ulama’ telah memberikan persyaratan yang cukup ketat bagi seorang mufassir Al-Qur’an, di antara syarat-syarat yang harus dimliki oleh ahli tafsir adalah sebagai berikut :
    Baik I’tiqadnya
Akidah dalam diri seorang mufassir itu berpengaruh terhadap penafsiran Al-Qur’an, kebanyakan (sering terjadi) penyelewengan- penyelewengan dalam nash dan berkhianat dalam menukilkan berita-berita. Apabila seseorang mengarang kitab tafsir mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda terhadap akidah sehingga akan membawa madzhab yang batil, yang menyimpang dari jalan petunjuk.
    Sunyi dari Hawa Nafsu
Karna orang yg dikuasai hawa nafsu bisa menolak terhadap pendapat sebenarnya, sehingga pemikirannya akan menenggelamkan manusia dengan kata-kata lembut dan salahnya penjelasan. Seperti nafsunya kaum Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah dan Rafidhoh


    Mengawali Tafsir Al-qur’an dengan Penjelasan Al-qur’an
 Karna terkadang ayat satu dengan lainnya berbeda tempat, dan kadang pula ayat satu mempunyai makna sempit namun diayat lain sangat terperinci dan gamblang.
    Mencari dan Membandingkan dengan Hadits
Karna fungsi hadits salah satunya adalah penjelas dari al-Quran.
    Mengambil Pendapat Sahabat bila tidak ditemukan pada Al-qur’an atau Hadits.
Karna shahabat nabi lebih mengetahui tanda-tanda dan keadaan waktu turunya Al-quran. Bahkan mereka mempunyai kefahaman yang sempurna, ilmu yg lurus dan amal yg baik pula.
    Memakai Pendapat Para Imam Bila Tidak Ditemukan pada Al-qur’an, Hadits dan Sahabat.
 Imam disini adalah para tabi'in (pengikut shahabat).
Seperti Mujahid ibn jabr, Sa'id bin jubair, Ikrimah, Atha' bin abi rabbah, Al-hasan basri, Masruq bin al-ajda', Sa'id bin musayyab, Ar-rabi bin anas, Qatadah, Ad-dahak ibn muzahim dll.

    Dalam Menafsirkan Al-Qur’an Seorang Mufassir juga dapat menafsirkan Al-Qur’an dari Sunnah
    Seorang Mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an apabila tidak ditemukan pada Sunnah, maka diambilkan dari perkataan Sahabat
    Apabila seorang Mufasir menafsirkan Al-Qur’an tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tidak pula terdapat pada Sunnah, tidak pula terdapat pada maka kebanyakan ulama’ kembali pada perkataan Tabi’in
    Harus mengetahui Ilmu yang harus dikuasai oleh Mufasir
 
B.    Ilmu-Ilmu yang Harus Dikuasai Oleh Mufassir

1 : ilmu lughot
2 : ilmu nahwu
3 : ilmu tasrif
4 : ilmu al istiqoq
5 : ilmu bayaan
6 : ilmu maa'ni
7 : ilmu bad'i/bade
8 : ilmu qiro'at
9 : ilmu usuluddiin
10 : ilmu usul fiqih
11 : ilmu asbaabunnujul
12 : ilmu naasikhu wal mansuukh
13 : ilmu fiqih
14 : ilmu al hadist mabniyah,almujmal...
15 : ilmu muwahabah
Seorang mufasisir tentu memerlukan atau mungkin  harus memiliki ilmu-ilmu yang harus dikuasai untuk menjadi ahli dibidang tafsir kitab Allah. Selain Ulumul Qur’an sebagai pokok, tentunya juga diperlukan ilmu lain sebagai pembantu yang harus dikuasai oleh seorang Mufassir. para ulama’ telah menyebutkaannya, seperti As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan menyebutkan berbagai ilmu yang harus dikuasai oleh mufassir antara lain, ialah :
1)    Mengetahui Bahasa Arab dan Aturan-Aturannya
Bahasa Arab dan aturan-aturanya yang berupa ilmu nahwu, ilmu shorof dan ilmu balaghoh. Seorang ahli tafsir bagaimana mungkin bisa memakai Al-Qur’an tanpa memahami perbedaan kata dan suku kalimat. Hal itu karena Al-Qur’an, pada dasarnya diturunkan sesuai dengan aturan-aturan dalam bahasa arab. Jika tidak memiliki pengetahuan tentang gambaran umum dari aturan-aturan bahasa arab, maka niscaya tidak akan mampu menguasai makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Imam Malik pernah berkata: “seseorang yang tidak mengerti bahasa arab datang kepadaku untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka kubuat dia mencabut perkataannya.”
Karena bila lafal bahasa arab tidak selaras dengan maknanya, maka tidak bisa dikatakan benar. Seperti penafsir golongan rofidloh  tentang firman Allah SWT dalam surat an-Nazi’at : 17
اِذْهَبْ اِلَى فِرْعَوْنَ اِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas.”
Yang dimaksud Fir’aun disini ialah hati manusia yang keras. Al-Qurtubi mengatakan pernyataan seperti ini biasanya digunakan oleh para penasihat dalam tujuan yang benar dengan maksud memperindah ucapan dan menghibur para pendenggar, padahal sebenarnya dilarang memutar-balikkan bahasa yang ketentuannya tidak boleh. Kecuali jika bahasanya berupa syi’ir (bukan bahasa Al-Qur’an) yang biasa disebut dengan dhorurotunnadhm. Ilmu nahwu penting bagi seorang mufassir, karena makna bisa berubah lantaran perbedaan harakat. Seperti lafal ٌرِجْل  Yang artinya “kaki” dan lafalٌ رَجُل  yang mempunyai arti  “orang laki-laki.”

2)    Mengetahui Ilmu Balaghoh
Ilmu balaghoh yang meliputi ilmu ma’ni, bayan, badi’. Ilmu  ma’ani ialah ilmu untuk mengetahui lafal arab sehingga sesuai dengan keadaan yang dikehendaki. Ilmu bayan ialah ilmu yang digunakan untuk mengetahui makna yang satu untuk menunjukkan kalimah yang sesuai dengan keadaan yang dikehendaki.   Adapun ilmu bayan terdiri dari 3 hal (tasybih, majas, kinayah) tasybih yaitu menyamakan satu perkara dengan perkara lain didalam sifat karena ada tujuan tertentu, dan majaz ialah suatu lafal yang dipakai untuk arti lain bukan arti yang sebenarnya, sedangkan kinayah(kiasan) ialah lafal yang dimaksud sebenarnya tersembunyi, tidak bisa dipahami kecuali ada qarinah.  Ketiga ilmu tersebut sangatlah penting bagi orang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an karena ia harus memelihara bentuk kemukjizatan Al-Qur’an. Firman Allah :
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُم وَأْنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنّ(البقرة :187)
Ayat tersebut di artikan bukan secara hakekat tetapi merupakan pengertian secara isti’aroh/perumpamaan, yaitu “Bagaikan pemakaian yang dapat menutup aurat menghiasi manusia dan mempercantik dirinya.” Yang arti secara hakekatnya “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” Sama halnya seorang suami istri satu sama lain bagai pakaian bagi pemiliknya, serta merupakan kelengkapan dan keindahan hidup satu dengan lainnya. Susunan tersebut merupakan keindahan gaya bahasa. Jika seorang yang hanya mengartikan secara lahir maka akn rusaklah maknanya.

3)    Mengetahui Ushul Fiqih
Ushul fiqih yang yang harus diketahui oleh mufassir diantaranya tentang khas, ‘am, mujmal dan sebagainya. Khash adalah mempertimbangkan makna umum lafadl, bukan makna yang khusus. Contohnya seperti pada firman Allah dalam al-qur’an surat al-baqarah: 102, yang berbunyi :
وَاتَّبَعُوامَاتَتْلُواالشّيَطِيْنُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَن
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa Kerajaan Sulaiman”
Meskipun ayat ini berkenaan dengan kaum yahudi yang lebih mempecayai setan dari pada Allah SWT, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ayat ini berlaku kepada siapapun yang berlaku serupa dengan kaum yahudi.
 ‘Am ialah lafal yang maknanya secara bahasa umum, tidak dibatasi oleh perorangan (termasuk semua individu). Mujmal ialah sesuatu yang masih umum (belum jelas) dan memerlukan penjelasan .وَاَقِيْمُواالصَّلَوة    “dan laksanakanlah sholat.” Ayat ini mewajibkan sholat. Namun tidak diperinci cara, waktu, syarat dan hal lain yang berkaitan dengan sholat. Oleh karena itu ayat ini memerlukan penjelasan. Penjelasan ayat ini terdapat pada hadits Nabi SAW :
صَلَّواكَمَارَاَيْتُمُونِي اُصَلِّى
4)    Mengetahui Asbabun Nuzul
Ilmu ini diperlukan oleh penafsir Al-Qur’an untuk menentukan dan memahami tujuan turunnya suatu ayat, karena dengannya maksud suatu ayat dapat ditemukan arti dan konteks ayat tersebut serta peristiwa yang meyertainya. Firman Allah (QS An-Nisa’ : 43):
يَاَيُّهَااالَّذِيْنَ اَمَنُوالَاتَقْرَبُواالصَّلَوةوَاَنْتُمْ سُكَرَى حَتَّى تَعْلَمُوامَاتَقُوْلُوْن...
“Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu katakan,…”
Bila seorang mufassir bila tidak memahami makna yang terkandung dalam ayat tersebut, mengapa seorang yang sedang mabuk dilarang melakukan sholat, apa penyebab turunnya suatu ayat ?
Berdasarkan riwayat Tirmidzi yang bersumber dari Ali r.a. menyatakan, bahwa Abdur Rahman bin Auf mengundang para shahabat dan ia menghidangkan makanan dan minuman yang terbuat dari khamr. Kemudian kami melaksanakan sholat dan  mereka menjadikan saya(Ali r.a.) sebagai imam sholat tersebut. Saya membaca surat al-kafirun dengan lafal :
 قُلْ يَااَيُّهَاالْكَافِرُوْنَ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ وَنَحْنُ نَعْبُدُمَاتَعْبُدُوْن
Katakanlah “wahai orang-orang kafir, aku menyembah apa yang kamu sembah. Dan kami menyembah yang kamu sembah.
Bila seorang mufassir tidak mengetahui asbabun nuzul ayat Al-Qur’an bisa saja ayat yang berisi tentang larangan sholat akan disalah-artikan.   

5)    Mengetahui Tentang Nasikh Mansukh
Pengetahuan tentang nasikh mansukh sangat diperlukan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, tanpa mengetahui nasikh mansukh tersebut seorang ahli tafsir tidak akan paham mana hukum ayat Al-Qur’an yang masih berlaku dan mana hukum Al-Qur’an yang sudah tidak berlaku (diganti dengan nash Al-Qur’an yang lain).
Nasikh secara lughat berarti menghilangkan atau mengganti, secara istilah artinya ialah mengganti hukum syara’dengan dalil syara’ lain.  Mansukh ialah pengganti hukum (yang diganti/dihapus). Seperti mengganti hukum pada suatu ayat dan menetapkan ayat.
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أزْوَاجًاوَصِيَّةً لِأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًاإلَى الْحَوْلِ
غَيْرَإخْرَاجٍ(البقرة : 240)
“Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat warisan untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah).”(QS. Al-Baqoroh :240)
Dahulu berlaku hukum seorang laki-laki yang sebelum meninggal dunia ia wajib memberi nafkah kepada istri-istrinya selama 1 tahun dan tidak membiarkan istrinya keluar dari rumah. Bisa dikatakan masa iddah seorang istri yang ditingal mati oleh suaminya adalah 1 tahun, hingga hukum itu dihilangkan/diganti dengan hukum lain tanpa menghapus ayat tersebut. Dengan pengganti (mansukh) ayat di bawah ini :
وَالَّذِيْنَ يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَ بِأنْفُسِهِنَّ أرْبَعَةَأشْهُرٍوَعَشَرًا
(البقرة :234)
    “Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.”(QS. Al-Baqoroh : 243)
    Yang hukum itu berubah, bahwa istri-istri yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki masa iddah 4 bulan 10 hari.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda