Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com


BAB 1
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG MASALAH
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia)dan Jalur Utara(Jalur Sutara)yang bermadzhab Hanafi(Turki, Persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid- murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun-temurun menghasilkan Ulama- ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain.

B.    RUMUSAN MASALAH

1.    Penerapan ASWAJA bagi ulama

C.    TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang dapat kita peroleh dari hasil pengkajian ini adalah mengenai :
1.    Memahami tentang Aswaja
2.    Memahami tentang penerapan Aswaja bagi ulama
3.    Memenuhi tugas Aswaja



BAB II
PEMBAHASAN

A.  SEJARAH PERTUMBUHAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Melihat dari latar belakang lahirnya , faham Aswaja merupakan jalan tengah di antara aliran-aliran teologi yang berkembang saat itu. Kecenderungan yang berlebihan dalam menggunakan akal dan kebebasan perbuatan manusia (free will dan free act) serta sikap  fatalism atau predesnation telah mengantarkan umat manusia pada kekerasan dan penindasan di satu sisi, dan kemunduran dan ketidak- berdayaan terhadap realitas kehidupan di sisi lain. Kondisi demikian akan semakin parah ketika perbedaan faham di atas dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Akibatnya berbagai fitnah menyebar dan korban berjatuhan atas nama “agama”.

Dalam konteks itulah, Aswaja berusaha mengembalikan kemurnian agama Islam dan berupaya mempersatukan kembali umat Islam yang tercerai berai.  Melalui konsep sunnahnya, Aswaja mengidentikkan diri sebagai ajaran yang mengikuti dan mengamalkan Hadis Nabi Muhammad SAW.  Al Sam’ani (w. 1166) mengidentikkan  al-sunnah  sebagai lawan dari bid’ah (penyimpangan) yang terjadi dan marak di   mana-mana.  Sedangkan Jalal Muhammad Musa mengartikan sunnah yang dimaksud dengan metode atau thariqah, yaitu mengikuti metode para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah sendiri, tidak menerka-nerka menurut daya nalar manusia semata-mata.

Adapun konsep jama’ah yang dimaksud dalam Aswaja adalah memiliki beberapa pengertian. Dalam hal ini al-Syathibi menyebutkan lima definisi,
1. Mayoritas kaum muslimin (amal-aswad al ‘az).
2. Para ulama mujtahid.
3. Para sahabat Nabi.
4. Kesepakatan orang Islam.
5. Golongan kaum muslimin dengan satu pemimipin.

Dalam sejarah Islam, jauh sebelum munculnya Al-Asy’ari dengan konsep Aswaja, telah terjadi pergolakan besar yang terjadi pada permulaan Islam, sebuah pertikaian antar kaum muslimin yang menjadi titik sejarah munculnya kelompok-kelompok kaum muslimin, dua orang sahabat Nabi SAW; Abdullah bin Abbas (w. 67 H) dan Abdullah bin Umar (w. 74), mengungkapkan sikap tentang perlunya mengembangkan solidaritas dan persatuan umat. Keduanya dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap al-Sunnah sebagai jalan memahami agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan kedua tokoh tersebut di  kemudian hari akan menjadi corak pemikiran Aswaja.

Sikap moderat kedua tokoh di atas selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar Hasan al-Basri (642 M/ 21 H). Bahkan dia lah orang yang pertama memformulasikan solusi sunni mengenai krisis pada tahun 656-661, khususnya semangatnya yang berkewajiban untuk tidak memecah belah umat dan penerimaannya terhadap Khulafaurrasyidin dan Bani Umayah sebagai pemerintah yang sah.

Pada perkembangan sejarah pemikiran Islam berikutnya, term Ahlusunnah wa al- Jama’ah, menjadi lebih popular setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/ 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 994 M), mengajukan gagasan  kalamnya sebagai antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah yang sebelumnya mengalami masa-masa kejayaan, terutama di zaman khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al Ma’mun dan al Wasiq (813 M-847 M ), dan mencapai puncaknya ketika Khalifah al Ma’mun di tahun 827 M menjadikan faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang di anut negara.

Namun pada tahun 1063 M, di mana Perdana Menteri Dinasti dipegang oleh Nizam al-Mulk, pemikiran-pemikiran Aswaja mendapat tempat di mata masyarakat, dari kecenderungan berfikir rasional ‘ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisional, dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, didirikan sekolah-sekolah yang diberi nama amiahal-Niz, dan di antaranya di Bagdad di mana al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah inilah diajarkan teologi Asy’ariyah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran Asy’ariyah. Dengan demikian faham Asy’ariyah sejak itu mulai tersebar luas bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya.

B.  PENERAPAN ASWAJA
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja ( ahlussunah waljama’ah) mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.

Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.

Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) dengan mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit, tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :

Adapun magsud perkumpulan ini yaitu : Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya Imam Empat,yaitu Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an Nu’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam.

C.   ASWAJA SEBAGAI TRADISI NU

Di lihat dari latar belakang kelahirannya,  paham Aswaja sebenarnya lebih merupakan sebuah madzhab dalam akidah.  Karena kemunculannya adalah bagian dari salah satu madzhab teologi yang ada ketika itu. Olah karena itu, pada dasarnya Aswaja adalah gerakan pemikiran yang menekankan kemurnian agama Islam, persatuan kaum muslimin dan keseimbangan yang harmonis antara aspek normativitas dan aspek historisitas.

Sebagai mazhab pemikiran, Aswaja memiliki corak  tersendiri yang membedakan dengan pemikiran madzhab lain :
  • Pertama, al-iqtisadl wa al-tawassuth, yakni sikap moderat yang menengahi antara dua pikiran yang ekstrim; antara Qadariyyah (freewillisme) dan Jabariyah  (fatalisme), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
  • Kedua, watak pemikiran Aswaja adalah toleran (tasamuh) terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam bidang pemikiran, Aswaja tidak hanya sangat responsif terhadap berbagai pemikiran madzhab yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat, seperti madzhab empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150  H/ 767 M), Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), Imam Mumahhad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H/ 820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti Imam Daud al-Dhahiri (w. 270 H/ 884 M), Imam Abdurrahman al-‘Auzai’ (w. 157 H/ 774 M), Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/ 778 M) dan lain-lain.

Dalam diskursus sosial budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan jika tradisi Aswaja yang dikembangkan NU terkesan wajah syi’ah atau bahkan juga Hinduisme.

Sikap toleran, Aswaja yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralisme pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Dan ini akan mengantarkannya pada visi kehidupan dunia yang rahmatan lil ‘alamin  di bawah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam tradisi pemikiran NU, pemikriran madzhab Aswaja diformulasikan dalam tiga hal :
  • Pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Namun dalam prakteknya mayoritas kalangan di NU adalah penganut setia madzhab Syafi’i.
  • Kedua, dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan    al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi.
  • Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim al-Junaedi al -Bagdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
  • Ketiga pemikiran keagamaan di atas bagi NU merupakan tradisi ilmu keagamaan yang masing-masing memiliki pertautan organis antara ketiganya secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Pertautan kedua dimensi dalam kehidupan itu merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk dapat menghadapi tantangan sekularisme dan modernisme.
D.  ASWAJA SEBAGAI SEBUAH TRADISI KEPEMIMPINAN ULAMA
NU memiliki karakteristik tersendiri dari organisasi lain. Salah satu di antara itu adalah otoritas dan kepemimpinan    ulama.  Dalam lingkungan NU, ulama memiliki posisi yang sangat strategis, di samping karena pengaruh tradisi keagamaan yang dikembangkan,  yakni paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengharuskan penghormatan dan otoritas ulama, juga pemilihan nama organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) menggambarkan posisi sentral ulama dalam NU.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, ulama memiliki multi fungsi. Satu saat ia berfungsi sebagai dinamisator  masyarakat, namun pada saat yang sama ia berperan sebagai stabilisator.  Dengan dilatar belakangi oleh misi Islamisasi dan membentengi umat dari ancaman sekularisasi, ulama terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik di masa penjajahan dan kemerdekaan di satu sisi, serta mempertahankan kebudayaan Islam dan homogenitas masyarakat di sisi lain. Kecuali itu, peran utama ulama tetap dipertahankan, yaitu sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan itu sendiri melalui pengajaran ilmu-ilmu agama.

Namun demikian tidak berarti seorang yang ahli suatu ilmu agama Islam disebut ulama. Dalam tardisi NU, seseorang baru disebut ulama jika ia memiliki kedalaman  ilmu agama dan pernah menempuh jalur pendidikan (mengaji) di pesantren.  Oleh karena itu, dalam menetapkan atau memberikan gelar ulama, NU memberikan kriteria sebagai berikut :
  • Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Fathir ayat 28.
  • Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi missi (risalah) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Para ulama adalah pewaris Nabi.
  • Ketiga, seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti: tekun beribadat (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akherat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemashlahatan umat (peka terhadap kepentingan umum) dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dilambari niat yang baik dalam berilmu maupun beramal.
Kedudukan ulama yang sentral di atas, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang berkembang di masyarakat juga. Pada mulanya, paham keulamaan itu hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat sekelilingnya. Tata hubungan antara santri dengan kiyai dan anggota masyarakat dengan pesantren, penuh simbol kesopanan yang pada dasarnya pengakuan terhadap kepemimpinan dan otoritas ulama. Namun dengan lahirnya NU, paham keulamaan ini semakin menampakkan bentuknya dalam formulasi yang cukup jelas. Penempatan Lembaga Syuriyah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti perwujudan paham keulamaan tersebut.

Secara formal keharusan mengakui kedudukan dan otoritas ulama tertulis dalam  AD-ART NU Pasal 7, ayat 1-2 :
  • “Kepengurusan NU terdiri dari Syuriyyah dan Tanfidiyyah. Syuriyah merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidiyyah merupakan pelaksana sehari-hari ”.
  • Selain itu, pengurus Syuriyyah yang terdiri dari para ulama atau kiai, mempunyai hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organsisasi. Hal veto itu dicantumkan secara jelas dalam ART-NU :
  •  “Dalam rangka pembinaan, pembimbingan dan pengawasan, maka Syuriyyah berkewajiban setiap saat memberikan teguran, saran dan bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi.
  •  Apabila suatu keputusan atau kebijaksanaan suatu perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Syuriyyah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam suatu rapat pengurus Syuriyah lengkap”.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya jami’yyah NU adalah jam’iyyah-nya para  ulama. Peranan ulama di dalam NU tidak sekedar pemimpin tertinggi, melainkan juga pengawas, pembimbing, pembina dan penegur apabila ada penyimpangan.

Peranan seperti itu, tentu saja banyak berpengaruh dalam kebebasan berorganisasi yang telah diatur oleh Anggaran Dasar. Misalnya dalam soal pemilihan ketua tanfidiyyah yang seharusnya dipilih secara bebas oleh muktamar, sedikit banyak akan terwarnai oleh otoritas ulama. Dengan kata lain, betapapun hebatnya seorang calon pemimpin tanfidiyyah, tanpa mendapat legitimasi dari ulama, sulit dapat diterima.

Oleh karena itu, besarnya independensi dan otonomi ulama dengan pesantrennya tidak jarang membuat NU mengalami hambatan dalam melakukan konsolidasi. Dengan semua kekuatan  kultural yang dimilikinya, kiai dan pesantren bagaikan wilayah yang terpisah dari jaringan kepemimpinan NU yang tunduk pada hirarkhi otoritas keorganisasian.

Di satu sisi, kiyai dan pesantren merupakan bagian dari warga NU yang terikat oleh seperangakat peraturan organisasi, dalam arti bahwa semua sikap dan tindakan yang memerlukan keselarasan irama harus berada di bawah koordinasi organisasi. Namun di sisi lain, pola hubungan mereka dengan masyarakat dan warga NU yang berproses secara mandiri dan berpijak pada kebesaran kharismanya menyebabkan munculnya kesulitan mengefektifkan jalur koordinasi yang ada dalam NU.


BAB III
KESIMPULAN, PENUTUP
KESIMPULAN
Umat islam di Indonesia adalah sebagian besar pengikut ajaran Sunni atau ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Keberhasilan itu tidak lepas dari peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri sebagai pengamal dan pengawal ajaran ahlussunnah waljamaah. Serta peran ulama dalam memegang teguh ajaran dari Nabi Muhammad SAW. Diakui atau tidak, inklusifitas ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari nilai-nilai aswaja telah memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat dan fleksible islam di indonesia.

Ulama telah menerapkan apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW. Kepada kaum muslim. Tiadak sembarangan orang yang dapat menjadi ulama terdapat kriteria tertentu yaitu :
  • Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Fathir ayat 28.
  • Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi missi (risalah) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Para ulama adalah pewaris Nabi.
  • Ketiga, seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti: tekun beribadat (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akherat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemashlahatan umat (peka terhadap kepentingan umum) dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dilambari niat yang baik dalam berilmu maupun beramal.
PENUTUP
Akhirnya penulis sampaikan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pembaca karena penulis menyadari masih banyak kekurangan dari makalah ini. Demikian makalah yang dibuat ini, semoga dapat memberikan manfaat dan menjadikan sebagai tambahan ilmu bagi semua pembaca.

DATAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra, Jaringan Ulama, 1994, Bandung; Mizan
http://kumpulan-makalah-baru.blogspot.com/2012/09/aswaja-dan-peta-pemikiran-islam.html
http://ippnuancabkaliwungu.blogspot.com/2011/04/ahl-al-sunnah-wa-al-jamaah-sebagai.html

fotenote
[1] KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999, hal. 35.

2 Jalal Muhammad Musa , Nasy’ah al Asy’ariyah wa Tatawwuruha, seperti dikutip oleh Ali Khaidar, Op. Cit,  hal. 67.

[3] Al Syathibi, al I’tishom, Baerut :  Dar al Fikr, Vol. III, hal. 136-142. Dikutip dari Imam Baehaqi, Op. Cit,  hal. 35.

[4] KH. Husin Muhammad, Op. Cit,  hal. 35-36.

[5] W. Montogmery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Tarj), Tiara wacana, Yogyakarta :  1999, hal. 104.

[6] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejaran Analisa Perbandingan, , Jakarta: UI-Press 1986, hal. 61.

[7] Harun Nasution, Ibid, hal 75.

[8] Penyebutan Aswaja sebagai madzhab dalam terminologi NU agaknya masih diperdebatkan. Abdurrahman Wahid kurang sependapat jika Aswaja disebut madzhab, karena akan terjadi patadox; di satu sisi ia sebagai madzhab, namun pada sisi lain karakteristik bahwa ber-NU atau beraswaja adalah bermadzhab fiqih, tauhid dan bertasawuf adalah madzhab itu sendiri. Artinya jika madzhab mengikuti madzhab berarti akan menimbulkan problem dan paradox. Lihat Abdurrahman Wahid dalam makalah, Dilema Pendekatan Tarikh (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 180. Namun demikian penyebutan aswaja sebagai madzhab juga dapat dibenarkan, karena bagaimanapun pada dasarnya Aswaja memakai unsur manhaj (cara berfikir) dan doktrin (manhajiyyan wa ‘aqidiyyah) yang dapat dibedakan dari madzhab lain. Baca KH. Husein Muhammad, Op. Cit, hal.37. 

[9] KH. Husein Muhammad, Ibid ,  hal. 39-41.

[10] Said Aqiel Siradj, Latar Kultur dan Politik Kelahiran ASWAJA (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 3. Namun berbeda menurut KH. Bisri Musthofa yang tidak mencantumkan al Ghazali dalam tokoh tasawuf dalam ASWAJA, baca KH. Bisri Musthofa, Risalah Ahlussunnah wal jama’ah, Yayasan al Ibriz, Kudus : Menara Kudus, 1967, hal. 19. Dikutip dari Dhofier, Op. Cit. hal 149. Untuk lebih jelasnya baca Qanun Asasi NU.

[11] Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta :  LKiS, 1999, hal. 153-155.

[12] Ulama (mufrd ; alim) berarti orang yang berilmu atau sarjana. Karena itu ada ulama fiqih, ulama hadis, tafsir falak hisab, wirid, tarekat dan sebagainya. Dalam terminology Bahasa Jawa, ulama diistilahkan dengan Kiai, yaitu gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat ( Bahasa Sunda) kiai disebut ajengan. Baca Dhofier, hal. 55.

[13] A. Gaffar karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta :  LkiS,  1995, hal. 45. Menurut Mitsuo Nakamura, bahwa pada dasarnya struktur organisasi NU tidak bisa dilepaskan tradisi sunni, yakni  (a). Kepemimpinan spiritual ulama vis-vis umat, (b). Solidaritas kolegaial antara para ulama. Baca Nakamura, Tradisionalisme Radikal Catatn Muktamar Semarang 1979 (ed), hal. 67.

[14] Hiroko Horikoshi,  Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta :  P3M, 1987, hal. 114. Baca pula Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit. hal. 55-60

[15] Choirul Anam, Op. Cit, hal. 174.

[16] Ahmad Siddiq, Oal-Fikrah al-Nahdliyah, Surabaya : POSSANU Jatim, hal. 26. baca Anam, Op. Cit,  hal. 175.

[17] AD-NU Pasal 7, ayat 1-2, hal. 9-10, sebagaimana dikutip Anam,  Ibid, hal. 175.

[18] Ibid, hal. 39.

[19] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta :  1999, hal. 11.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda