Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com



PANCASILA SEBAGI PENANGKAL RADIKALISME
Oleh: Dr. M. SEKHAN MUCHITH
Salah satu Dosen STAIN Kudus Dalam seminar Di Jepara.

Pancasila dilihat dari perspektif  dasar Negara dan filosofi kehidupan bangsa Indonesia dapat dikatakan sudah final, artinya mendiskusikan tentang pancasila sudah selesai dan tinggal bagaimana mengimplementasikan kedalam nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Mendiskusikan pancasila sebagai dasar Negara dan filosofi kehidupan berbangsa menjadi tidak perlu karena secara normatife pancasila tidak ada yang pantas diragukan. Lima sila memuat pesan yang sangat mulia.

Manakala dilihat dari perspektif realitas sikap dan prilaku bangsa Indonesia, pancasila pantas untuk direnungkan, dikaji dan didiskusikan mengenai adanya kesenjangan (gap) antara isi atau pesan yang ada didalam pancasila dengan realitas sikap dan prilaku masyarakat Indonesia.

Ditengah bangsa Indonesia memiliki landasan kehidupan bernegara yang sangat baik, tepat, santun dan damai, justru banyak fenomena bangsa Indonesia yang memiliki sikap dan prilaku yang tidak sesuai dengan pesan agama islam maupun isi dari pancasila. Anarkisme, in-toleransi, an-pluralisme, tawuran bahkan masih ada sedikit kelompok yang memiliki keyakinan pentingnya pemberlakuan Negara Islam (khilafah). Bahkan sangat memprihatinkan jika masih ada sekelompok masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa memberlakukan Negara Islam merupakan perjuangan Islam dan sesuai dengan amanat al-Quran maupun hadits.

PENGGUNAN ISTILAH

Lukman hakim seorang ilmuan yang menjabat Wakil Kepala Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam kata pengantar buku berjudul “Islam dan Radikalisme di Indonesia” menjelaskan bahwa radikalisme digunakan oleh media massa, ataupun para pengamat dan akademisi diarahkan pada gerakan-gerakan islam politik yang berkonotasi negatif. Radikalisme disamakan dengan kata “Ekstrem”, militan, non toleran anti barat dan anti barat.

Pasca peristiwa serangan 11 september 2001, istilah radikalisme bercampur aduk dengan istilah fundamentalis, terorisme. Secara umum dapat dilihat bahwa radikalisme, fundamentalisme dan terorisme dijadikan istilah untuk menghina atau melecehkan kelompok-kelompok islam yang memperjuangkan nilai-nilai atau semangat islam dalam tatanan sistem kehidupan.

Munculnya istilah radikalisme yang dikonotasikan negatif bukan tanpa alasan, karena banyak fenomena sebagian kecil masyarakat khusunya umat islam, dalam melakukan gerakan atau merespon kebijakan dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol islam, bahkan gerakan kelompok yang menggunakan simbol-simbol islam juga sering melakukan aksi yang anarkis dengan cara merusak tempat-tempat umum, misalnya melakukan sweeping, menghancurkan tempat hiburan malam, merusak tempat-tempat umum yang dianggap salah menurut kaca mata mereka sendiri tanpa memperhatikan etika dan norma hukum yang berlaku. Misalnya, ingin memberantas kemaksiatan dilakukan dengan cara menyerang atau merusak tempat-tempat kemaksiatan tersebut, ingin menegakkan dan menjaga kesucian bulan suci ramadhan dilakukan dengan cara intimidasi para pedagang yang berjualan disiang hari, ingin meluruskan ajaran islam yang dianggap menyimpang atau sesat dilakukan dengan cara menyerang lokasi atau tempat komunitas masyarakat yang dianggap memiliki ajaran yang menyimpang. Ingin mati sahid dilakukan dengan cara aksi bom bunuh diri yang diarahkan kepada orang-orang yang belum tentu bersalah, ingin melawan kedholiman bangsa amerika, tetapi dilakukan dengan cara menyerang tempat atau lokasi yang didalamnya belum tentu ada  orang amerika, sehingga yang menjadi korban lebih banyak umat islam dan bukan bangsa amerika. Ingin melawan orang-orang kafir tetapi dilakukan dengan cara menyerang terhadap aparat keamanan (polisi).

ISLAM DAN PANCASILA

Membandingkan antara islam dan pancasila merupakan sesuatu yang tidak tepat, karena keduanya bukan sesuatu obyek yang tidak bisa dibandingkan. Islam adalah doktrin yang sangat universal sementara pancasila adalah doktrin local (Indonesia). Isi pancasila merupakan cerminan dari islam, yaitu apa yang dikonsepkan dalam pancasila hasil dari pesan atau nilai-nilai yang terkandung didalam Islam.

Isi atau pesan dalam pancasila sudah ada sejak lama didalam Islam, oleh sebab itu menjalankan pancasila juga dapat dikatakan menjalankan sebagian dari ajaran Islam. Islam mengajarkan pentingnya ketuhanan (tauhid), begitu jupa sila pancasila pada sila perta juga mengharuskan mengakui keesaan tuhan. Islam setelah mengajarkan tauhid (syahadat) mewajibkan sholat, dimana sholat merupakan amalan yang lebih banyak mengandung makna social. Pancasila pada sila kedua juga mengharuskan pentingnya kemanusiaan. Islam sangat menjunjung tinggi persatuan, keadilan dan demokrasi. Begitu juga pancasila sangat memperhatikan aspek persatuan dan keadilan social dan demokrasi.

Berdasarkan asumsi tersebut, dapat dikatan setiap umat islam sudah sangat familiar terhadap pancasila, sehingga setiap sikap dan perilakunya harus sesuai dengan pesan agama Islam dan juga sila yang ada di dalam pancasila.

Islam dengan pancasila memiliki hubungan yang beraneka ragam, tergantung dari kualitas cara fikir atau pemahaman bangsa Indonesia. Hubungan Islam denga pancasila menjelma kedalam berbagai bentuk, antara: Pertama Hubungan “dualistic” atau vis a vis’ yaitu Islam dan pancasila diposisikan berhadap-hadapan baik berhadapan secara negatif. Pemahaman seperti ini melahirkan diskursus tentang pentingnya Negara Islam, karena pancasila dianggap belum mampu menjadi solusi dalam berbangsa dan bernegara. Kedua Hubungan “monolistik”, yaitu Islam dan pancasila dianggap menyatu, Islam adalah pancasila dan pancasila juga Islam. Pemahaman ini menyebabkan adanya pencampuradukkan antara beragama dan bernegara. Ketiga Hubungan “siklus” yaitu memposisikan Islam dan pancasila memiliki keterkaitan yang saling interaktif dan interdependentif. Artinya Islam dan pancasila saling mengisi dan melengkapi dalam konteks berbangsa dan bernegara.

SALAH FAHAM DOKTRIN

Ada dua doktrin atau konsep didalam Islam yang memiliki peluang mudah dipahami salah satu menyimpang sehingga berimplikasi munculnya sikap atau perilaku anarkis atau radikalisme. Dua doktrin atau konsep itu adalah Amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad.

Amar makruf nahi mungkar (al’amru bi-ma’ruf wannahyu’anil-munkar) adalah sebuah frasa dalam bahasa arab yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat. Frasa ini dalam syari’at Islam hukumnya dalah wajib. Dalil amar ma’ruf nahi mungkar adalah pada surah luqman, yang berbunyi sebagai berikut :
“Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadapa apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (Q.S. Luqman: 17).

Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang perbuatan jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat diantara kamu, kemudian orang-orang uang baik-baik diantara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Dzar).

Doktrin ini mengandung dorongan atau motivasi untuk melakukan aksi menuju kebaikan, tetapi doktin ini harus dipahami secara kontekstual dan komprehensif. Jika tidak akan mudah menimbulkan potensi anarkisme. Untuk memahami doktrin secara utuh maka perlu memenuhi persyaratan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai berikut: Pertama Mengetahui bahwa apa yang dia perintahkan adalah hal yang ma’ruf (baik), juga mengetahui apa yang dia larang adalah betul hal yang tercela. Kedua Tidak boleh mencegah kemungkaran yang berakibat kepada kemungkaran yang lebih besar. Ketiga Pelaku mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar tanpa menimbulkan bahwa yang akan menimpanya. Ke empat Pelaku amar ma’ruf dan nahi mungkar wajib melakukan apa yang ia perintahkan atau yang ia larang.

Selain amar ma’ruf, jihad juga sering jadi konsep yang memiliki peluang untuk melahirkan sikap dan prilaku yang anarkis. Ibnu Abbas berkata: “jihad adalah mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.” Abdullah Ibnul Mubarak berkata; “jihad adalah melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” Dalah tinjauan syari’at Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada mujahadatu nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy ayaithan (jihad melawan syaitan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan munafik).

Jihad tidak identik dengan perang melawan orang yang dianggap kafir atau orang kafir, jihad lebih mengarah kepada optimalisasi proses atau kegiatan untuk memperoleh sesuatu yang baik atau mashlahah bermanfaat) yang dilakukan dengan cara-cara yang kontekstual. Jihad pada dasarnya memiliki hukum fardhu kifayah, tetapi berubah menjadi fardhu ain, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: Pertama, apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “ hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) diwaktu itu, kecuali membelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah mereka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal; 15-16). Kedua, apabila negerinya dikepung oleh musuh. (dalam keadaan ini wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan negerinya, keadaan ini serupa dengan orang yang berada dibarisan peperangan. 

Sebab apabila musuh mengepung suatu negeri, tidak ada jalan bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan baik berupa personil, makanan, dan yang lainnya. Karena wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan kepada negeri. Ketiga, apabila diperintah oleh imam. Apabila seorang diperintah oleh seorang imam untuk berijtihad, hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini adalah pemimpin tertinggi negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan diakhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu yang lain, dan kamu tidak dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39).

KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF KE-INDONESIA-AN

Kekerasan yang ada disepadankan dengan radikalisme dan terorisme mulai muncul pasca runtuhnya razim orde baru tahun 1998, dimana pasca runtuhnya rezim orde baru banyak tuntutan reformasi dalam segala aspek/bidang. Akibat keterbukaan yang menjadi esesnsi dari revormasi menyebabkan berbagai elemen masyarakat dengan leluasa untuk mengemukakan pendapatnya. Ada sebagian juga yang memiliki pendapat atau pikiran tentang memperjuangkan syariat Islam dalam tatanan sistem Indonesia.

Kendati tidak dengan cara tegas dan formal ingin menjadikan agama islam, pasca runtuhnya orde baru banyak muncul organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis symbol islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT), dan Laskar Jihad (LJ). Ormas ini sering melakukan aksi yang melibatkan banyak massa dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Meskipun tidak secara ekspisit, tetapi masyarakat Indonesia dengan mudah memahami bahwa ormas tersebut memiliki keinginan untuk menegakkan atau menerapkan syariat Islam di bumi Indonesia.

Jika dilihat dari issu yang diusung dalam melakukan aksi, empat ormas tersebut memiliki penekanan issu yang berbeda. FPI muncul dengan lebih menekankan kepada respon terhadap maraknya kemaksiatan dan premanisme. MMI tampil kepermukaan dengan membawa issu yang menekankan respon terhadap ekonomi dan politik yang dianggap semakin tidak berdaya menghadapi pihak asing (khususnya Amerika). HT merespon dengan issu ketidak adilan dengan tata hubungan bangsa yang semakin didominasi imperalisme barat/Amerika. HT merespon dengan menekankan issu ketidak mampuan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ditingkat lokal.

Dari ormas empat tersebut, yang seringkali terlihat melakukan aksi kekerasan adalah ormas yang menggunakan akribut FPI. Sebagai contoh saja misalnya: Pertama, pada tanggal 1 juni 2008, ormas yang menggunakan atribut FPI menyerang aliansi kebangsaan kebebasan beragama dan berkeyakinan (AKKBB) di monas Jakarta. Kedua,  pada tanggal 30 April 2010, ormas yang menggunakan atribut FPI mendatangi Hotel Bumi Wiyata depok untuk membubarkan seminar waria yang sedang berlangsung. Ketiga, tanggal 24 juni 2010, ormas yang menggunakan atribut FPI membubarkan paksa pertemuan komisi X DPR RI di Banyuwangi Jatim. Keempat, tanggal 8 agustus 2010, ormas yang menggunakan atribut FPI menyerang jamaat gereja batak protestan (HKBP) di Bekasi.

PANCASILA SEBAGAI PENANGKAL RADIKALISME
Pancasila sebagai dasar negara harus mampu menjadi sarana terwujudnya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Pancasila juga harus mampu menjelma sebagai pendorong atau motivator tumbuhnya kesadaran berbangsa dan bernegara serta demokrasi yang mampu mewujudkan tatanan sistem kehidupan yang demokratis, santun dan damai.

Optimalisasi pancasila sebagai sarana mengeliminir gerakan radikalisme perlu dilakukan dengan berbagai langkah, sebagai berikut: Pertama, perlu ada pergeseran dari “doktrin ideologis” menuju “doktrin transformatif”, yaitu pancasila tidak hanya  dihafal, didiskusikan tetapi pesan pancasila benar-benar dilaksanakan khususnya para pemimpin bangsa. Setiap pemimpin harus mampu menjadi uswah (contoh) dalam melaksanakan sistem berbangsa dan bernegara. Kedua, perlu ada pergeseran model pembelajaran “tradisional” menjadi pembelajaran “kontekstual”, yaitu pembelajaran tidak hanya memberikan pesan atau informasi secara kognitif saja melainkan harus mampu menumbuhkan kesadaran yang utuh sesuai dengan situasi dan kondisi dalam berbangsa dan beragama. Ketiga, perlu ada transformasi budaya yang bercirikan dengan 3 pergeseran yaitu (a) pergeseran dari teks ke konteks (b) pergeseran dari pemikiran keaksi  (c) pergeseran dari individu ke sosial. Artinya setiap warga negara tidak cukup dengan hasil pemikiran saya tetapi pemikirannya harus diaplikasikan kedalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara dan setiap warga negara tidak cukup berkualitas secara individual saja melainkan harus berkualitas secara sosial atau kolektif.
 

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda