Hello Admin^
This is Not_Found

Into your system...

Now I Destroy your security and Break them Into Pieces..

Whatever you Hate Me or Like me

I'm So Sorry Your Site Has been Deface
By



zoneaman86.blogspot.com

 



 
Bahaya Sering Gonta Ganti Template blog - sahabat gangi-ganti template blog dengan tujuan mempercantik blog atau website kamu dengan mengganti template. Tapi yang perlu diingat, bahwa hal itu tidak baik untuk perkembangan SEO blog / website kamu.

Tampilan blog / website secara fisik memang sangat diperlukan untuk menambah kenyamanan para pengunjung dan sekaligus mempercantik tampilan blog / website. Dan bicara soal blog yang cantik, erat kaitannya dengan template tentunya.

Template sobat yang satu tidak cocok, lalu diganti dengan yang lain sampai berkali-kali hingga akhirnya kamu pun merasa puas. Tapi tahukah kamu hal tersebut tidak dianjurkan dan berbahaya, karena beresiko merusak keberadaan SEO yang sedang kamu bangun.

Kita ibaratkan saja hal ini dengan sebuah gedung besar yang sedang di bangun. Kalo sering di bongkar sana-sini, maka hal itu hanya akan menambah bingung orang yang melihatnya. Nah, begitu pula dengan search engine yang setiap hari mengindex blog / website kamu.

Ibarat lainnya, template kita umpamakan seperti jalan, ketika kita melewati sebuah jalan di suatu daerah yang belum pernah dilewati, maka secara otomatis pikiran kita akan merekam lika-liku bentuk suasana jalannya, sehingga sewaktu kita akan melewatinya lagi, kita tidak akan kebingungan, karena sudah terekam di dalam memori kepala kita.

Begitu pula dengan template, sewaktu kita memakai template baru, maka search engine akan merekam seluruh lika-liku dan susunan kode-kodenya, sehingga sewaktu akan mengindex ulang, si search engine tidak akan bingung untuk melewatinya kembali, karena sudah di data di dalam databasenya.

percayakah kamu kalo sering gonta-ganti template akan merusak SEO?

Hal ini sebenarnya baru saya alami beberapa waktu yang lalu, karena kebosanan saya terhadap template blog saya yang lama, maka saya pun berkeinginan untuk merubahnya. Setelah saya menemukan template yang cocok dan menggantinya, apa yang terjadi? SEO yang saya bangun selama ini lantas berantakan dan menurun drastis.

Sedih memang, namun apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur, yang ada saya saat ini sedang berusaha untuk memperbaikinya kembali, meski hal itu sangat jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar tentunya.

Maka dari itulah, artikel ini saya buat untuk berbagi ke rekan-rekan sekalian dan kebetulan saya pun menemukan jawaban atas masalah ini dari salah seorang rekan blogger yang telah mengulasnya.

Jika sahabat bertanya lagi kalo tidak pernah ganti template, namun sering di tambah kode-kode yang lain bagaimana? Atau mungkin sedikit di ubah kode yang ada di dalamnya?

Menurut pengalaman saya pribadi, hal ini tetap berpengaruh terhadap pembangunan SEO, tapi hal itu tidak berlangsung lama dan akan dilanjutkan kembali pembangunan SEO tersebut.

Namun, jangan salah, ada pula yang berpendapat, bahwa kalau tidak ganti-ganti template, tapi sering di ubah-ubah kode di dalamnya, maka hal itu akan lebih buruk lagi tingkat SEO-nya.

Saran saya buat rekan-rekan yang baru terjun di dunia blog dan ingin berbisnis online melalui blog, maka dari awal sebaiknya carilah template yang tampilannya cukup memuaskan diri sendiri dan cukup puas dilihat para pengunjung. Simplenya, carilah template yang minimalist.

Meskipun tampilan blog kita cantik namun artikel yang di update hanyalah article-article copy paste alias CoPas dan tidak bermutu (seperti sayap-sayap kehidupan ini), maka jangan berharap banyak bisa kebanjiran traffics dari pengunjung dan jangan berharap pula bisa succes dalam berbisnis online.

Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa : 13]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia dalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku” [HR Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih]

Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata : “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an”

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan : “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.

Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala.

Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasululillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16]

BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Pengertian Fiqh Mawaris

Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.  Kataمواريث   adalah jama' dari   ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari  ورث - يرث- ارثا - وميراثا .

Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:  al-baqa'  (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال)  "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.

Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.

Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.

Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.

Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1.    Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2.    Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3.    Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).

B.    Kedudukan dan Urgensinya

Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.

Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.

 Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.

Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)

C.    Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah

Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .

Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )

Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”

Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.

Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.

D.    Penentuan Ahli Waris

Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1.    Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2.    Adanya janji prasetia( muhalafah)
3.    Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1.    Sudah dewasa
2.    Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka.
Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1.    Anak laki-laki
2.    Saudara laki-laki
3.    Paman
4.    Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Pengangkatan Anak
Seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri .


E.    Hukum Waris Masa Awal Islam

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

F.    Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris

Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1.    Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2.    Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3.    Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4.    Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5.    Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fiqh mawaris adalah ilmu yang membahas dan mengatur harta orang yang sudah meninggal dengan tatacaranya. Fiqih mawaris adalah istilah yang kutang popular dikalangan ulama, para ulama mengunakan istilah faraid. Dapat disimpulkan bahwa suatu proses meneruskan serta mengoperkan harta benda keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah dimulai ketika orang tua masih hidup. Dari satu generasi (orang tua) kepada turunannya, oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak turunnya pewaris, Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut dengan   meninggalnya salah satu orang tua, artinya ketika orang tua meningal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.

B.    Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kelemahanya, karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau refrensi yang ada hubunganya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penullis khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

C.    Penutup
Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidak sempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
DAFTAR PUSRAKA

Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.Az-zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.

BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya, setiap ciri khas dari suatu ilmu tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, kecuali jika definisi ilmu yang bersangkutan diketahui lebih dahulu. Karena ketidaktahuan terhadap sisi tertentu dari suatu ilmu, tidak mungkin seseorang akan termotivasi untuk menuntutnya. Ciri khas suatu ilmu juga dapat dilihat dari objek kajian dan tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut juga akan menjadi sia-sia.

Kemudian dalam pembahasan kali ini adalah sebuah kajian yang menjawab berbagai hal yang berhubungan dengan harta warisan atau pembagian harta dan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkannya. Karena sering kali polemik ini selalu berkelanjutan tidak ada ujungnya sampai-sampai bisa melaju ke meja hijau dalam pembagian harta Gono-gininya. Tak jarang hal ini juga yang menyebabkan pembunuhan antara msing-masing saudara untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa:
“Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagianbagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”

Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.

Pada dasarnya arti-arti diatas sangat luas sehingga dalam tulisan ini, makna kata yang cocok adalah ketetapan yang pasti, yang tercantum pada surah An-Nisa, 4: 11:
فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما (النساء : 11)

Kata (فريضة) berakar dari kata faradha yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah. Kemudian karena kata faraidh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan.

Saham-saham yang tidak dapat diubah adalah angka pecahan 1/2 , 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 yang terdapat dalam surah An-Nisa, 4:11, 12 dan 176.
Dengan singkat Ilmu Faraidh dapat di definisikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab Ilmu Mawarits, tidak lain adalah nama lain dari Ilmu Faraidh.

Adapun kata al-mawarits, adalah jama` dari kata mirots. Dan yang dimaksud dengan almirotsu, demikian pula alirtsu, wirtsi, wirotsah dan turots, yang diartikan dengan al-murutsu, adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan al-muwaritsu sedang ahli waris disebut dengan al-waritsu.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARAIDH/ ILMU MAWARIS
Tata aturan pembagian harta puaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.

Kemudin, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hakyang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya. Demikian di awal Islam ini masih berlaku.

Ketika Nabi Muhammad SAW. Hijrah demikian pula sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh Nabi dijadikan sebab pusaka-mempusakai antara mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Muhajirin meninggal di Madinah dan bersamanya ikut walinya (ahli wais), harta pusakanya akan diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah itu. Sedang walinya yang ikut hijrah, tidak berhak mempusakai hartanya tersebut. Dan apabila seorang Muhajir yang pindah itu meninggal dan tidak mempunyai wali, harta pusakanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari Anshor yang menjadi ahli waris karena telah menjadi saudara itu. Tentu saja waris dari persaudaraan yang demikian itu, hanya apabila lelaki dan tentu saja sudah dewasa.

Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam, pengangkatan anak itu tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Tidak, Ia tetap sebagai anak lain.

Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran:
وما جعل ادعياءكم ابناءكم ذلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل (4) ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم فى الدين ومواليكمز. (الاحزب : 4-5).
Artinya : “Dan tidaklah Allah menjadikan anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengucapkan yang benar, dan Ia menunjukan jalan yang benar. Dan panggilah anak-anak itu menurut nama bapak-bapak mereka sendiri. Itulah yang adil di sisi Allah. Apabila kamu sekalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah sebagai panggilan saudaramu dalam agama dan maula-maulamu…(Al-Ahzab 4-5).

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

Oleh karena itu, dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal-awal Islam, selain meneruskan beberapa nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai berikut:
a. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
b. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
c. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
d. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
e. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.

C. HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. (رواه ابن ماجه والدارقطنى)
Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.

Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:

“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).

Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.

Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.

Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertamakali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
BAB III
PENUTUP

Semoga dengan pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).
Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Rofiq, Ahmad, Dr., MA., Fiqih Mawaris Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
2. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004.
3. Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta : PT. Raja grafindo Persada, 1995.
4. Daradjat, Zakiah, Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid III.
5. Lubis, Suhrawardi K., S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.
 http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/

Cara Pilih Layanan PPC Terbaik-Karena reaksi yang berlebihan dan popularitas
internet, pemilik bisnis sekarang merambah ke
berbagai jenis strategi iklan yang dapat mereka gunakan untuk
bisnis mereka. Internet Marketing telah menjadi relatif populer. Jika Anda telah menco ba
strategi ini, maka Anda pasti telah mendengar tentang PPC atau membayar per klik.

Apakah Anda seorang pemilik bisnis online baru atau hanya
seseorang yang ingin mencoba strategi periklanan baru, sangat
penting untuk diingat beberapa hal untuk mencatat sehingga Anda
akan dapat mengetahui layanan PPC terbaik yang banyak tersedia di dunia maya.

Alasan mengapa Anda mencari layanan PPC adalah karena Anda bertujuan untuk target,
sehingga Anda harus jelas tentang apa yang diharapkan setelah itu. Carilah layanan PPC yang
mungkin dapat menawarkan hasil perusahaan dalam kurun waktu tertentu.

#Bandingkan Harga
Meskipun dalam SEO Anda harus siap untuk berinvestasi bagi mendapatkan
keuntungan, juga perlu mempertimbangkan harga layanan PPC yang berbeda yang Anda
cari.Buatlah perbandingan atas-semua ketika datang ke kualitas layanan serta
tingkat bahwa perusahaan minta. Dengan melakukan kanvas, Anda akan dapat setidak nya
mengetahui mana layanan PPC yang meminta terlalu banyak dan yang tingkat yang wajar cukup.

#Periksa Masukan mereka dan Ulasan
Sebuah perusahaan PPC yang baik jelas akan memiliki beberapa ulasan yang baik dari pelanggan
terakhir. Anda dapat memeriksa ini dengan pergi melalui website mereka dan melihat masukan
mereka yang terbaru. Dengan melakukan ini, Anda entah bagaimana dapat mengetahui apakah
perusahaan terus reputasi online yang stabil atau tidak. Ini juga akan lebih baik untuk benar-
benar berbicara kepada para nasabah terakhir. Anda dapat mengambil beberapa nama dengan
alamat email atau nomor telepon dan mengambilnya dari sana.

# Meminta Sebuah Portofolio
Sebuah perusahaan SEO kompetitif dapat paling pasti menunjukkan portofolio yang baik. Melalui
ini Anda juga dapat melihat bagaimana perusahaan bekerja, dan bagaimana mereka merencanakan
untuk mengeksekusi metode mereka untuk membuat bisnis Anda menguntungkan dengan cara
PPC.

#Pilih Bijak Dan hati-hati
Setelah Anda menyusun daftar, jangan terburu-buru dan memilih hati-hati. Menjadi impulsif
mungkin bukan ide yang baik ketika datang ke bagian penentu. Pilih layanan PPC tidak hanya
karena menawarkan penawaran terlalu baik.anda harus pertimbangkan kelebihan lain nya dari ppc tersebut.

#Meminta Laporan Konstan

Setelah Anda akhirnya memilih, pastikan bahwa perusahaan mampu untuk melaporkan secara
teratur. Ini akan membantu dalam meyakinkan bahwa mereka melakukan yang terbaik yang
mereka bisa, pada saat yang sama Anda juga akan mengetahui kemajuan teknik mereka.

#Kesabaran adalah Kunci keberasilan

Sekarang Anda tahu layanan PPC terbaik, sekarang saatnya untuk bersabar dan menunggu hasil.
Ini bukan sukses dalam semalam jadi jangan berharap untuk mendapat asil yang instant. Selama Anda tahu layanan PPC Anda memilih melakukan tugas nya dan bahwa Anda
melihat kemajuan, semua yang perlu Anda lakukan adalah menunggu dan bersabar.ok,,,,



BAB II
AL-QUR’AN
1.    Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan sumber hukum  utama Islam dan pedoman hidup kaum muslim. Al-Qur’an bukan hanya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengajarkan tentang hubungan manusia terhadap sesama manusia dan juga alam.
Pengertian Al-Qur’an sangat luas, antara lain :
a.    Secara Etimologi
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Al-Qur’an secara etimologi, antara lain yaitu :
1)    Kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk masdar dari kata “Qara’a” yang artinya “bacaan”.
2)    Kata “Al-Qur’an” merupakan kata sifat dari “Al-Qar’u” yang bermakna “Al-jam’u” yang artinya “kumpulan”.
3)    Kata Al-Qur’an merupakan Isim Alam bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan sebagai nama kitab suci umat Islam.
b.    Secara Terminologi
Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya Al-Madkhal li dirasah al-Qur’an al-karim mengatakan bahwa
“Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.”


2.    Hakikat Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat agung. Dia merupakan penyempurna dari beberapa kitab. Namun pada hakikatnya Al-Qur’an bukanlah tulisan ataupun bacaan yang termuat dalam 30 juz Al-Qur’an 114 surat 6666 ayat, melainkan pada makna yang tersirat atau terkandung didalamnya. Adapun tulisan atau bacaan yang termuat di dalam kitab itu tidak ada bedanya dengan buku-buku bacaan biasa. Jadi jika manusia beriman kepada tulisan atau bacaannya sama halnya dengan beriman kepada hal yang fana.

3.    Nama - Nama Al-Qur’an
Al-Quran merupakan Kalam Allah yang mengandung ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibrail untuk disampaikan kepada semua manusia. Al-Qur’an merupakan mukjizat yang paling agung yang telah mendapat jaminan dari Allah SWT akan kekal terpelihara. Dan juga terdapat beberapa nama-nama  Al-Qur’an yang telah disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Nama-nama itu mempunyai ciri-ciri dan kriteria Al-Qur’an itu sendiri.
Nama-nama lain Al-Qur’an sangat banyak, antara lain yaitu :
1.    Al Kitab ( Kitabullah )
Yang merupakan sinonim dari kata Al-Qur’an artinya, kitab suci sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Perkataan Kitab di dalam bahasa Arab dengan baris tanwin di akhirnya ( Kitabun ) memberikan makna umum yaitu sebuah kitab yang tidak tertentu. Apabila ditambah dengan alif dan lam di depannya menjadi (Al Kitab) ia telah berubah menjadi suatu yang khusus (kata nama tertentu). Dalam hubungan ini, nama lain bagi Al-Qur’an itu disebut oleh Allah adalah Al-Kitab. Nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2.

Artinya :
Kitab ( al-Quran ) ini tidak ada keraguan padanya, ( menjadi ) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
2.    Az-Zikr ( Peringatan )
Allah SWT menyebutkan  Al-Qur’an sebagai Az-zikr (Peringatan) karena sebetulnya Al-Qur’an itu senantiasa memberikan peringatan kepada manusia karena sifat lupa yang tidak pernah lepas dari manusia. Manusia mudah lupa dalam berbagai hal, baik dalam hubungan dengan Allah, hubungan sesama manusia maupun lupa terhadap tuntunan-tuntunan yang sepatutnya ditunaikan oleh manusia. Oleh karena  itu golongan yang beriman dituntut agar senantiasa mendampingi Al-Qur’an. Selain sebagai ibadah, Al-Qur’an itu sentiasa memperingatkan kita kepada tanggung jawab kita. Nama ini di terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9

Artinya :
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan az-zikr ( Al-Quran ) dan Kamilah yang akan menjaganya ( Al-Quran ).
3.    Al-Furqan ( Pembeda )
 Allah SWT memberi nama lain bagi Al-Qur’an dengan Al-Furqan berarti Al-Qur’an sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Mengenali Al-Qur’an maka kesannya sewajarnya dapat mengenal Al-Haq dan dapat membedakannya dengan kebatilan. Nama ini diterangkan dalam Surat Al-Furqan ayat 1

Artinya :
 Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hambaNya (Muhammad)
4.    Al-Mauidhah ( Nasihat )
 Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah adalah untuk kegunaan dan keperluan manusia, karena manusia senantiasa memerlukan peringatan dan pelajaran yang akan membawa mereka kembali kepada tujuan penciptaan yang sebenarnya. Tanpa bahan - bahan pengajaran dan peringatan itu, manusia akan terlalai dan lupa dari tugasnya karena manusia sering didorong oleh nafsu dan dihasut oleh syaitan dari mengingat dan mentaati perintah Allah. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al Qamar ayat 22.

Artinya :
Dan sungguh Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? ( daripada Al-Quran ini ).

5.    Asy-Syifa’ ( Penawar )
Allah SWT telah mensifatkan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada umat manusia melalui perantara Nabi Muhammad SAW sebagai penawar dan penyembuh. Bila disebut penawar tentu ada kaitannya dengan penyakit. Dalam Tafsir Ibnu Katshir dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah penyembuh dari penyakit-penyakit yang ada dalam hati manusia seperti syirik, sombong, ragu dan sebagainya. Dalam hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57.

Artinya :
Wahai manusia! Sungguh, telah Kami datangkan kepadamu pelajaran (Al-Quran) dari Tuhanmu, penawar bagi penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.
6.    Al-Haq ( Benar )
 Al-Qur’an dinamakan dengan Al-Haq karena dari awal hingga akhirnya, kandungan Al-Qur’an adalah semuanya benar. Kebenaran ini adalah datang daripada Allah yang mencipta manusia dan mangatur sistem hidup manusia dan Dia Maha mengetahui segala-galanya. Oleh karena  itu, ukuran dan pandangan dari Al-Qur’an adalah sesuatu yang sebenarnya mesti diikuti dan dijadikan prioritas yang paling utama dalam mempertimbangkan sesuatu.

Artinya :
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
7.    Ar-Ruh ( Roh )
 Allah SWT telah menamakan wahyu yang diturunkan kepada Rasulnya sebagai roh. Sifat roh adalah menghidupkan sesuatu. Seperti jasad manusia tanpa roh akan mati, busuk dan tidak berguna. Dalam hubungan ini, menurut ulama, Al-Qur’an mampu menghidupkan hati-hati yang mati sehingga dekat dengan Penciptanya.

Artinya :
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) Ruuh (Al-Quran) dengan perintah Kami, … (asy-Syu’ara: 52)
8.    Al-Busyraa ( Berita Gembira )
Al-Quran sering menceritakan khabar gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah dan menjalani hidup menurut kehendak dan jalan yang telah diatur oleh Al-Qur’an. Khabar-khabar ini menyampaikan pengakhiran yang baik dan balasan yang menggembirakan bagi orang-orang yang patuh dengan isi Al-Qur’an. Terlalu banyak janji-janji gembira yang pasti dari Allah untuk mereka yang beriman dengan ayat-ayat-Nya. Hal ini telah dikemukakan dalam Al Qur’an Surat An Nahl ayat 89

Artinya :
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim). (an-Nahl: 89)
9.    Al-Bayaan (Keterangan)
Al-Quran adalah kitab yang menyatakan keterangan dan penjelasan kepada manusia tentang apa yang baik dan buruk untuk mereka. Menjelaskan antara yang haq dan yang batil, yang benar dan yang palsu, jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Selain itu Al-Qur’an juga menerangkan kisah-kisah umat terdahulu yang pernah mengingkari perintah Allah lalu ditimpakan dengan berbagai azab yang tidak terduga.

Inilah (Al-Quran) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk kepada seta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (ali-Imran: 138 )
10.    Ar-Rahmah (Rahmat)
Allah menamakan Al-Qur’an dengan rahmat karena dengan Al-Qur’an ini akan melahirkan iman dan hikmah. Bagi manusia yang beriman dan berpegang kepada Al-Qur’an ini mereka akan mencari kebaikan dan cenderung kepada kebaikan tersebut.

Artinya :
Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar serta rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang zalim (Al-Quran itu) hanya akan menambah kerugian. (al-Isra: 82)

4.    Al-Qur’an Sebagai Sumber Asasi Multi Dimensi
Mengapa Al-Qur’an bisa dikatakan sebagai sumber asasi multi dimensi ? Al-Qur’an dikatakan sebagai sumber yang multi dimensi karena  Al-Qur’an tidak hanya membenarkan akan tauhid, dan menjelaskan hubungan manusia kepada Allah saja, tetapi didalamnya memuat semua rahasia yang ada di alam ini. Al-Qur’an bukan hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan pada periode tertentu, tetapi Al-Qur’an adalah petunjuk yang universal dan sepanjang waktu.
Di dalam Al-Qur’an tidak hanya menggali ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tafsir, fiqih dan tauhid, akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu telah di isyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui ayat-ayatnya. Dan semua rahasia itu bisa kita kaji  jika kita mau memahami dan mendalaminya. Misalnya dalam surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5. Dalam ayat itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa jika kita ingin mencari suatu ilmu, mulailah dengan membaca. Lalu setelah membaca barulah menulis dengan menggunakan pena. Menurut prof. Dr. H. Said Agil Husain Al Munawar, M.A. mengatakan bahwa
“kata  “qalam” dalam surat ini berarti pena yang biasa menjadi ilmu pengetahuan”.
Keistimewaan Al-Qur’an bukan hanya itu saja, masih banyak lagi keistimewaan yang dimiliki oleh Al-Qur’an. Diantaranya Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai petunjuk, penerang jalan hidup, pembeda antara yang hak dan yang batil, penyembuh penyakit hati, nasihat atau petuah, sumber informasi, dan lain-lain. Semua itu sudah cukup memberi bukti kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah tiada tandingannya. Didalamnya terdapat semua ilmu. Didalamnya terdapat semua rahasia. Wajar jika Al-Qur’an dijadikan sumber hukum. Karena Al-Qur’an memang sumber yang multi dimensi.

5.    Bahasa Arab
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril dengan meminjam bahasa manusia. Disini Allah menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Mengapa harus Bahasa Arab ? Tentu jawabannya sangat beragam. Antara lain, yaitu :
a)    Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab karena Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang bahasa kesehariannya adalah Bahasa Arab. Dan masyarakat disekitarnya pun berbahasa Arab. Jadi untuk mempermudah penyampaian wahyu tersebut maka Allah menurunkannya dalam Bahasa Arab. Dan ini telah tersirat dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 4 :

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡ‌ۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ (٤)
Artinya :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” .

b)    Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab agar manusia pada zaman itu dapat dengan mudah memahaminya. Seperti tersirat dalam surat Az-Zuhruf ayat 3 :
إِنَّا جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَٲنًا عَرَبِيًّ۬ا لَّعَلَّڪُمۡ تَعۡقِلُونَ (٣)
Artinya :
“Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.”

c)    Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab agar orang-orang Arab saat itu yakin dengan petunjuk - petunjuk yang tersirat dalam Al-Qur’an, sebagaimana tersirat dalam surat Fussilat ayat 44 :

وَلَوۡ جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَانًا أَعۡجَمِيًّ۬ا لَّقَالُواْ لَوۡلَا فُصِّلَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥۤ‌ۖ ءَا۠عۡجَمِىٌّ۬ وَعَرَبِىٌّ۬‌ۗ قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدً۬ى وَشِفَآءٌ۬‌ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٌ۬ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًى‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۭ بَعِيدٍ۬ (٤٤)
Artinya
“Dan sekiranya Al-Qur’an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul) adalah orang Arab? Katakanlah: "Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan(Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka.Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh."







BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Dari beberapa keterangan  yang telah ada dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril. Tetapi hakikat Al-Qur’an bukanlah tulisan atau bacaannya yang termuat dalam 30 juz Al-Qur’an 114 surat 6666 ayat, tetapi hakikat Al-Qur’an adalah makna yang tersirat didalamnya.Nama-nama Al-Qur’an sangat banyak, antara lain yaitu Al-Kitab, As-sifa, Ar-Ruh, dan lain sebagainya.
Al-Qur’an dikatakan sebagai sumber yang multi dimensi, karena Al-Qur’an tidak hanya menerangkan tentang hubungan manusia dengan Allah tetapi juga tentang hubungan manusia kepada sesama. Al-Qur’an juga merupakan sumber semua ilmu. Dan Al-Qur’an juga memiliki berbagai keistimewaan antara lain dapat dijadikan obat.
Al-Qur’an ini diturunkan dengan menggunakan Bahasa Arab, karena Allah ingin mempermudah manusia untuk memahaminya.

2.    Saran
Salah satu rukun iman adalah iman kepada kitab-kitab Allah.Dan Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang paling agung. Yang di dalamnya tersimpan berbagai rahasia. Oleh karena itu kita harus belajar, belajar dan terus belajar agar dapat mengetahui semua rahasia yang ada di dalamnya. Dengan terselesaikannya penyususnan makalah ini penulis berharap pembaca semakin yakin dengan adanya Al-Qur’an yang agung. Penulis berharap makalah ini bisa berguna bagi penulis dan pembaca. Namun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu penulis meminta saran dan kritik yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al Munawar, M.A, prof. Dr. H. said agil Husain. Aktualisasi nilai-nilai Qur’an.Jakarta : Ciputat Perss

Al Munawar, M.A, prof. Dr. H. said agil Husain. Al-Qur’an.Jakarta : Ciputat perss. 2005

Departemen Negara RI. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia.Jakarta : Menara Kudus. 2005

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya

Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syari’at islam. Diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syari’at islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman tua. Demikian juga halnya dengan syari’at islam dalam perkembangan dan perjalananya. Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka yang menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syari’at islam. Sebagian mengatakan 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh.

Pendapat yang lebih tepat dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada 4 fase sebagai berikut :
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw, sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunandan kedatangan wahyu.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad IV H.
3.    Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad IV sampai abad XII H.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad XII sampai sekarang.

Namun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam secara singkat dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu :
1)    Periode pertama, Masa Nabi Muhammad saw
2)    Periode kedua, Masa Khulafa al-Rasyidin
3)    Periode ketiga, Masa Perkembangan dan Pembukuan
4)    Periode keempat, Masa Kemunduran
5)    Periode kelima, Masa Pembaharuan dan Kebangkitan.

B. Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syari’at Islam
Tasyri’ Pada Masa Kerasulan atau masa hidup Raasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syari’at islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1.    Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqh islam pada masa ini
2.    Setiap syari’at (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam mengistinbat (mengeluarkan) hukum syar’i.
3.    Periode-periode setelah era kerasulan tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syari’at islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.
Periode ini berlangsung pada masa 610-632 M ( Tahun 1-10 H ) yaitu selama hidup Rasulullah saw.

Pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam langsung diselesaikan oleh Nabi, baik melalui wahyu yang diterimanya dari Allah swt, maupun melalui sunahnya yang selalu dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu. Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Ijtihad sahabat yang terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah, yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari Nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.
Contohnya adalah firman Allah swt,
Artinya : Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

Contoh lain adalah:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

C. Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 H sampai dengan akhir abad 14 H. Oleh karena itu, pada masa ini di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu :
1.    Masa Khulafa al Rasyidin
2.    Masa Dinasti Umayah
3.    Masa Dinasti ‘Abbasiyah
A.    Tasyri’ Pada Masa Khulafa al Rasyidin
Periode ini berlangsung pada masa Khulafa al Rasyidin ( 632-662 M / 11-41 H ), yaitu pada masa :
  1. Abu Bakar Shidiq ( 632-634 M / 11-13 H )
  2. Umar bin Khatab ( 634-644 M / 13-23 H )
  3. Utsman bin Affan ( 644-656 M / 23-35 H )
  4. Ali bin Abi Thalib ( 656-662 M / 35-41 H )
Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat. Baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga jelas bahwa sumber pensyari’atan pada masa sahabat adalah:
1.    Al-Qur’an
2.    As-Sunnah
3.    Ijma
4.    Ra’yi ( Logika )
Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut :
1.    Meneliti dalam kitab Allah swt untuk mengetahui hukumnya
2.    Meneliti dalam Sunnah Rasulullah saw, jika tidak ada nash dalam al-Qur’an.
3.    Ijma’ ( konsensus bersama ), yaitu jika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul atau ditemukan namun bersifat global atau nashnya banyak dan setiap nashnya memberi hukum yang berbeda atau berupa khabar ahad.

4.    Ra’yi yaitu mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash al-Qur’an atau sunnah atau dalil ‘aqli berupa qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
Penggunaan istilah ra’yi tidak populer bagi semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang yang mengenal istiah ini seperti para Khulafa al Rasyidin, ‘Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit.
Contohnya adalah pada pemahaman ayat al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. ( QS. Al-Baqarah : 228 )
Kata tersebut adalah bentuk jamak dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan haidh dan bisa pula diartikan suci.
B.    Tasyri’ Pada Masa Dinasti Umayyah
Periode ini di mulai ketika para Khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 H, dan berakhir pada awal abad II H sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 H. Zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh, dan pergolakan politik. Karena sejak zaman awal berdirinya dinasti ini, kaum muslimin terpecah kedalam tiga golongan, yaitu :

a)    Syi’ah, yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Khalifah hanya untuk Ali dan keturunannya, sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan Nabi dan bukan dengan cara ba’iat.

b)    Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim ( perdamaian ) pada zaman Khalifah Mu’awiyyah, lalu mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyyah, mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tida harus suku Quraisy atau keturunan arab.

c)    Jumhur Kaum Muslimin, yaitu kaum modert yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih leh kaum muslimin dengan cara ba’iat.
Namun pada masa Dinasti Umayyah terjadi peningkatan kreativitas fiqh, hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu :
•    Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
•    Meluasnya periwayatan hadits
•    Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqh dan ilmu syari’at
•    Munculnya beberapa aliran fiqh.
Masa Dinasti Umayyah mempunyai karakteristik fiqh tersendiri, yaitu :

a.    Munculnya beberapa manhaj ( metode ) kajian fiqh yang bersih dari pertikaian politik, terutama madrasah ahli hadits dan ahli ra’yi

b.    Sinergitas antara para hamba sahaya dengan orang arab dalam memegang kepemimpinan kedua madrasah ini diberbagai negeri Islam

c.    Perhatian terhadap Sunnah dengan ciri – ciri meluasnya periwayatan hadits, mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat, pembukuan sunnah, dan membendung arus pemalsuan hadits dan membongkar segala makar mereka

d.    Munculnya fiqh Iftiradhiy ( andaian ) yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi
e.    Banyaknya perbedaan dalam masalah furu’ fiqh

C.    Tasyri’ Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha, selain munculnya para ulama yang membahas setiap bab, memiliki mazhab ijtihad sendiri yang kemudian di beri nama sesuai nama para imamnya.

a.    Faktor yang menyebabkan kemajuan fiqh islam pada masa ini adalah :
2.    Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah terhadap fiqh dan fuqaha
3.    Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan pendidikan Islam
4.    Iklim kebebasan berpendapat,
5.    Maraknya diskusi dan debat ilmiah diantara para fuqaha
6.    Banyaknya permasalahan baru yang muncul
7.    Akulturasi budaya dengan bangsa – bangsa lain
8.    Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab.

Pada masa Dinasti Abbasiyyah inilah sebagai pondasi peletakan ilmu ushul fiqh, seperti karya Imam Asy – Safi’i yaitu kitab Ar – Risalah sebagai kitab ushul fiqh pertama dalam Islam.
D.    Fase Taqlid dan Kejumudan
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali, dan lain-lain. Adapun faktor penyebab taqlid adalah :
1.    Pembukuan kitab madzhab
2.    Fanatisme madzhab
3.    Jabatan hakim
4.    Ditutupnya pintu ijtihad
E. Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh

Fase ini dimulai dari akhir abad XIII H / 19 Msampai pada hari ini. Angin pembaharuan ini sebenarnya telah berhembus sejak awal abad XIV M, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
•    Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 ).
•    Ibn Qoyyim al-Zaujiyah ( 1292-1356 ).
•    Muhammad Ibn Abdul  Wahab ( 1703-1787 ).
•    Jamaluddin al-Afghani ( 1839-1897 ).
•    Muhammad Abduh ( 1849-1905 ).
•    Rasyid Ridla ( 1865-1935 ).

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.
1.     Pembahasan Fiqh Islam
a.    Indikasi kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dilihat dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :

b.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzhab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus anatara satu madzhab dengan madzhab lainnya.

c.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik, karena pembahasan fiqh pada masa yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh simbol dan rumus yang memerlukan waktu banyak untuk memahaminya.

d.    Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi, sehingga memunculkan teori-teori umum dalam fiqh islam dan mengasilkan teori baru seperti teori aqad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proporsional.

e.    Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Seperti contoh didirikannya Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar pada tahun 1961 M di Mesir oleh para ulama besar dari semua negeri islam yang terpercaya keilmuannya.

2.    Kodifikasi Fiqh
Kodifikasi ( taqnin ) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dengan bentuk butiran bernomor. Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan, yaitu :
pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang – undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada babbab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

Sebenarnya upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang sudah muncul pada awal abad II H ketika Ibnu Muqaffa menulis surat kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Namun usulan ini tidak mendapat sambutan, karena para fuqaha enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri sudah memberikan peringatan untuk menjauhi fanatisme madzhab.

Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al -‘Adliyah ( Semacam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) pada masa Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan imperium untuk mengacukan seluruh Undang-Undang sipil yang berlaku bagi umat Islam dibawah pemerintahannya pada madzhab Imam Abu Hanifah sebagai madzhab resmi negara.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sebagian ulama ada yang mengatakan perkembangan melalui 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh. Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan 4 fase dengan tahapan
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan.
3.    Fase kejumudan dan taqlid.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran.
Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu : Masa Khulafa al Rasyidin, Masa Dinasti Umayah, Masa Dinasti ‘Abbasiyah
Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh, Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.

B.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan, pastinya banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam presentasi, kiranya pembaca khususnya mema’afkan dan melengkapi kekurangan dalam makalah ini kemudian menjadi lebih sempurna karena-Nya. Adapun hal ini kritik dan saran sangat kami tunggu dari pembaca yang budiman.


DAFTAR PUSTAKA
Khali, Rasyad Hasan l, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ).
Usman, Suparman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )

PENGERTIAN LOGIKA
BAB II
PEMBAHASAN



A. Pengertian Logika
 Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.

Proposisi kategorik adalah suatu pernyataan yang terdiri atas hubungan dua term sebagai subjek dan predikat serta dapat dinilai benar atau salah. Hubungan ini berbentuk pengiyaan atau pengingkaran. Proposisi kategorik terdiri atas empat unsur, dua di antaranya merupakan materi pokok proposisi, sedang dua yang lain sebagai hal yang menyertainya. Empat unsur yang dimaksudkan adalah term sebagai subjek, term sebagai predikat, kopula, dan kuantor.

Term sebagai subjek adalah hal yang diterangkan dalam proposisi, term sebagai predikat adalah hal yang menerangkan dalam proposisi. Kedua unsur sebagai subjek dan predikat inilah yang merupakan materi pokok proposisi kategorik. Kopula merupakan hal yang mengungkapkan adanya hubungan antara subjek dan predikat, dan kuantor merupakan pembilang yang menunjukkan lingkungan yang dimaksudkan oleh subjek.

B. Asas-asas Berfikir

Asas adalah pangkal atau asal dari mana suatu tu muncul dan dimengerti. Maka “Asas Pemikiran” adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :

 1. Asas Identitas (principium identatis = qanuun zatiyah)

Asas identitas merupakan dasar dari semua pemikiran dan bahkan pemikiran yang lain. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila dijadikan rumus maka akan berbunyi “Bila proposisi itu benar maka benarlah ia”.

 2. Asas kontradiksi (principum contradictoris = qanun tanaqud)

Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuanya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas hanya satu sebagaimana disebut oleh asas identitas. Dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jika dirumuskan maka akan berbunyi “Tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”.

 3. Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi tertii = 
qanun  imtina’)

Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenaranya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu tidak mungkin keduanya benar dan juga tidak mungkin keduanya salah. Jika kita rumuskan akan berbunyi “Suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”.

C. Cara Mendapatkan Kebenaran

Ada dua cara berpikir yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru yang benar, yaitu melalui metode induksi dan metode deduksi.

 1. Metode induksi

Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual.penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas kemudian diakhiri dengan peryataan yang bersifat umum.

Contoh : Besi dipanaskan memuai
               Seng dipanaskan memuai
    Emas dipanaskan memuai
    Timah dipanaskan memuai
    Platina dipanaskan memuai
    Jadi, Semua logam jika dipanaskan memuai.

             Keuntungan cara penalaran menggunakan metode induksi :
~Kita dapat berpikir secara ekonomis.
~Pernyataan yang dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun deduktif.

 2. Metode deduksi

Deduksi adalah kegiatan berpikir merupakan kebalikan dari penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
     Contoh : Semua logam bila dipanaskan, memuai
                    Tembaga adalah logam
                    Jadi, tembaga bila dipanaskan, memuai.

Keuntungan dari metode deduksi adalah kita bisa mendapatkan pengetahuan tanpa melalui penelitian terlebih dahulu.

           Pengetahuan yang benar adalah dengan menggabugkan dua metode ini secara cermat dan kritis. Pengembangan pengetahuan bila hanya menggantungkan penalaran induksi akan sangat lambat dan boros. Sebaliknya deduksi meminta jasa induksi dalam menggunakan dasar pemikiranya.

D. Pembagian Logika

Logika atau mantiq dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan, tergantun dari mana kita meninjaunya.

 1. Pembagian logika dari segi kualitasnya :

     ~ Logika naturalis (mantiq al-fitri)

               Logika naturalis yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal manusia.

     ~ Logika ilmiah (mantiq as-suri)

                    Logika ilmiah ialah untuk membantu logika naturalis (mantiq al-fitri)                             yaitu bertugas memperhalus, mempertajam serta menunjukan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman.

 2. Pembagian logika dari segi metodenya :

     ~ Logika tradisional (mantiq al-qadim)

 Logika tradisional yaitu logika Aristoteles dan logika dari pada logikus setelahnya tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles.

     ~ Logika modern (mantiq al-hadis)

Logika modern yaitu logika yang menggunakan sistem baru yang dimulai sejak Raymundus Lullus. Logika ini tumbuh pada abad XIII. Logika ini juga disebut Ars magna.

 3. Pembagian logika dilihat dari obyeknya :
     ~ Logika formal (mantiq as-suwari)
     ~ Lgika material (mantiq al-maddi)

E. Manfaat Logika

    Logika dapat membantu berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Karena logika dapat mendidik manusia bersikap obyektif, tegas dan berani.

F. Pengertian Term

Term adalah kata atau sejumlah kata yang dapat berdiri sendiri. Jenis kata seperti itu disebut kata kategorimatis. Misalnya : bunga, burung, pohon (term tunggal), orang tua asuh, pencinta lingkungan hidup (term majemuk).

Term merupakan suatu kata atau suatu kumpulan kata yang  merupakan ekspressi verbal dari suatu pengertian. Bagian dari proposisi yang berfungsi sebagai subyek  atau predikat, serta dapat berfungsi sebagai  penghubung antara dua proposisi yang disebut premis dalam sebuah silogisme.

Jenis-jenis Term dapat dibagi manjadi beberapa macam:

 1. Dalam kaitan dengan pengertian (arti yang  dikandungnya)
    ~ Term Univok (satu kata, satu pengertian) : karyawan,  pelanggan, guru, manager.
    ~ Term Ekuivok (satu kata, lebih dari satu pengertian):   genting, bulan, bait, pasar.
    ~ Term Analog (satu kata, pengertian bisa sama bisa  berbeda): ada, suap, sehat.

 2. Dalam kaitan dengan jumlah kata
    ~ Term Tunggal : gunung, manusia, kejahatan.
    ~ Term Majemuk : Kereta api, lapangan sepak bola, CEO, TQM, BKIA, KPKPN.

 3. Term ditinjau dari luasnya
    ~ Term Singular: mengatakan tentang satu hal tertentu.
    ~ Term Partikular: mengatakan tentang sebagian.
    ~ Term universal: mengatakan tentang seluruh luasnya.

 4. Berdasarkan sifatnya
   ~ Term Distributif: berlaku untuk setiap anggota.
   ~ Term Kolektif: berlaku pada sesuatu sebagai satu  kesatuan.

 5. Berdasarkan fungsinya dalam proposisi dan silogisme
   ~ Term subyek
   ~ Term predikat
   ~ Term menengah / terminus medius.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Logika merupakan dasar untuk menyatakan bahwa sesuatu itu bernilai benar atau salah. Secara alami akal manusia memang dapat mengungkapkan bahwa sesuatu itu adalah pernyataan yang salah maupun pernyataan yang benar. Akan tetapi, karena keterbatasan dan perbedaan kemampuan akal manusia maka dalam mengungkapkan penyataan akan lebih sempurna jika didasari dengan metode berpikir logika. Dengan perpaduan antara akal dan metode-metode yang sesuai, kita dapat menilai sesuatu dengan obyektif dan akan terhindar dari kekeliruan.

B. Saran

Semua tulisan dalam makalah ini merupakan kemampuan akal yang terbatas dari dari penulis. Penulis menyadari masih banyak kesalahan ataupun kekurangan dalam makalah ini walaupun penulis sudah berusaha maksimal. Oleh karena itu untuk semua pembaca diharapkan saran yang bisa melengkapi kekurangan dan membenarkan kesalahan dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Mundiri, H. Logika, Jakarta: RajaGrafindo, 2003.


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
“KEADILAN SUBSTANTIF”

A.    Pengertian Keadilan Substantif

Keadilan substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th Edition dimaknai sebagai : Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights. (Black’s Law Dictionary, 7th Edition, p. 869) [“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat”]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan kegiatannya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.

B.    Mahkamah Konstitusi Dan Keadilan Substantif

MK dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.

Pilihan paradigmatik ini didasari pada keyakinan bahwa dalam posisinya sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan substansial, sebab, selain hal ini dibenarkan oleh UUD 1945 juga dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.

Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex aequo et bono (putusan adil).

Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dengan kata lain, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).

Yang hendak ditekankan adalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan.


Selain itu, pilihan paradigmatik pada keadilan substantif juga dilatarbelakangi derasnya tuntutan agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang memberikan solusi hikum atas ketidak pastian yang diakibatkan oleh ketentuan yang multitafsir atau pada saat terjadi kekosongan hokum. Demikian pula halnya dalam perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan substantif dan bukan sekedar pengadilan perselisihan penghitungan atau yang sering disebut sebagai pengadilan kalkulator.

Pergerakan atau pergeseran tersebut terjadi bukan karena kehendak para hakim konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, tetapi semata-mata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan substantif. Hasil pemilu adalah manifestasi suara rakyat. Oleh karenanya, untuk menjamin hal itu harus dipastikan bahwa hasil pemilu harus didapatkan dengan cara yang benar, jujur, dan adil, serta dihitung dengan benar pula sesuai dengan prinsip one man, one vote, one value.

Mahkamah Konstitusi berpedoman pula pada paradigma keadilan substantif. Dengan penekanan pada keadilan substantif dimaksudkan bahwa meskipun suatu perbuatan secara formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi tidak melanggar substansi keadilan dan kesalahan tersebut bersifat tolerable, maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapapun jika suatu ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai berkali-kali tentuklah dapat dikatakan intolerable dan mengandung ketidakadilan. Sikap mahkamah yang demikian didasarkan pula pada tujuan untuk memberi manfaat kepada Negara dan masyarakat.

Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi atas penegakkan keadilan substantif bukan berarti mahkamah harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Dalam mengimplementasikan paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat keluar atau mengabaikan bunyi undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau keluar dari bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang memberi rasa keadilan, maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar dalam pengambilan putusan; sebaliknya jika penerapan bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri. Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

C.    Problematika Penegakan Hukum Substantif

Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan substantif sebagaimana keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi itu lebih adiluhung (bahasa Jawa) atau malebbi (bahasa Bugis) daripada yang terkandung dalam keadilan prosedural, namun upaya mewujudkan keadilan substantif lazim berbenturan dengan problematika kepastian hukum (equality).

Contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada daerah tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU Mahkamah Konstitusi sendiri.

Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan hukum”, (Jawa Pos, 3/12/2008).

Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan hukum bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk mengubahnya. Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak ada lembaga lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak kepastian hukum.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan

Dapat kita simpulkan dari makalah diatas, bahwa keadilan substantive adalah Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat. Jadi dengan kata lain keadilan substantive meruapakan keadilan yang tidak diatur dalam aturan undang-undang tetapi melainkan dengan melihat substansi kasus yang terjadi meskipun tidak ditulisakn dalam undang-undang

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.

B.    Saran dan Kritik

Akhirnya makalah ini sampai pada penutup dan terkhir yang ingin penulis sampaikan dari makalah ini bahwa penulis menyadari makalah kami masih sangatlah jauh dari kriteria makalah yang baik dan benar, dari itu kami tidak bosannya sangatlah mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna evaluasi pada makalah kami berikutnya. Dan semoga terselesainya makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua terlebih bagi yang memanfaatkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Darji Darmodiharjo, SH. Sidarta, SH, MHum, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2004
http://keadilansubstantif.blogspot.com

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda